Aku berhenti mendadak, Stephanie tidak sempat bereaksi sehingga ia menabrakku dari belakang, aku langsung menempelkan kedua tangan ke dinding supaya tidak jatuh. Tak ada waktu untuk berbalik, tak ada waktu untuk pergi, suara langkah dari bawah semakin keras, semakin berat, berkas cahaya senter menyapu Stephanie dan aku.
Aku memicingkan mata dan melihat sosok gelap mendaki tangga, menghampiri kami, “rupanya kalian ada di sini” suaranya menggelegar. Suaranya akrab di telinga, “Otto” Stephanie dan aku berseru berbarengan, ia berhenti di hadapan kami, “kenapa kalian ada di atas sini?” Otto bertanya. “Entah...kami kesasar” ujarku cepat-cepat, “kami terpisah dari rombongan” Stephanie menambahkan “kami sudah berusaha mencari yang lain” “ya kami sudah berusaha” aku menimpali “kami sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ketemu”
Otto menurunkan senternya, ia memincingkan matanya yang kecil dan menatap kami, sepertinya ia tidak percaya cerita kami. “kupikir tur-ku sudah kalian hapal di luar kepala” ujarnya sambil mengucap dagu. “memang” Stephanie berkeras “Tapi kami salah jalan, kami tersesat dan kami...”
“tapi bagaiman kalian bisa sampai di lantai tiga?” tanya Otto “ehm..” aku bergumam, aku tidak bisa memikirkan alasan yang masuk akal, aku menoleh pada Stephanie yang berdiri satu anak tangga di atasku. “kami mendengar suara-suara di atas, kami pikir rombongannya ada di sini” katanya pada Otto.
Ia tak sepenuhnya bohong, kami memang mendengar suara-suara di sini, Otto mengarahkan senternya ke bawah, “ayo, kita turun lagi, lantai tiga ini tertutup untuk umum tak boleh ada yang masuk” “maaf” Stephanie dan aku bergumam. “hati-hati” Otto mewanti-wanti “tangga belakang ini curam dan sudah reyot, kita kembali ke rombongan tur sekarang, Edna memandu mereka sementara aku mencari kalian”
Edna pemandu kami yang kedua, orangnya sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulitnya pucat, dan ia kelihatan rapuh sekali, apalagi dengan seragam pemandu yang serba hitam. Tapi ia pintar bercerita, semua kisah seram yang diceritakannya jadi lebih menakutkan lagi, Stephanie dan aku menuruni tangga di belakang Otto. Berkas cahaya senternya terarah ke depan ketika ia membimbing kami ke lantai dua, kami menyusuri lorong panjang, lorong yang kukenal baik.
Kami berhenti di depan kamar kerja Joseph Craw, Joseph ayah Andrew, aku mengintip ke dalam, api tampak menari-nari di tempat perapian. Edna berdiri di samping tempat perapian, dan ia sedang menceritakan kisah Joseph Craw yang tragis kepada rombongan tur. Stephanie dan aku sudah seratus kali mendengar cerita yang sedih itu, suatu hari, kira-kira satu tahun setelah Andrew kehilangan kepala, Joseph pulang larut malam, waktu itu musim dingin, ia membuka mantel, lalu berdiri di depan tempat perapian untuk menghangatkan diri.
Tak seorang pun tahu bagaimana Joseph sampai terbakar, paling tidak, itulah yang dikatakan Otto, Edna, dan para pemandi yang lain, barangkali ia didorong ke tempat perapian, mungkin juga jatuh sendiri. Tak ada yang bisa memastikannya, tapi ketika salah satu pembantu memasuki ruang kerjanya keesokan pagi, ia menemukan pemandangan yang mengerikan. Ia menemukan sepasang tangan gosong yang berpegangan pada tepi perapian.
Sepadang tangan itu mencengkeram pinggir tempat perapian yang terbuat dari marmer, hanya itulah yang tersisa dari Joseph Craw, mengerikan, aku selalu merinding kalau mendengarnya. Otto mengajak kami masuk, Edna tiba pada bagian akhir cerita yang membuat bulu kuduk berdiri, “kalian mau bergabung lagi?” tanya Otto
“ehm, rasanya sudah terlalu malam, kami harus pulang” jawab Stephanie, aku langsung membenarkan, “terima kasih kau telah menyelamatkan kami, kapan-kapan kami ikut tur lagi” “Selamat malam” ujar Otto sambil mematikan senter “kalian bisa keluar sendiri, bukan?” ia segera masuk ke ruang kerja.
Aku hendak berbalik, tapi tiba-tiba anak laki-laki itu muncul lagi, nak laki-laki pucat yang berambut pirang berombak. Anak laki-laki yang memakai jeans dan kaus turtleneck warna hitam, Ia berdiri agak jauh dari rombongan tur, di dekat pintu, dan ia kembali menatap Stephanie dan aku, ia menatap kami dengan tatapan dingin. “ayo” aku berbisik sambil meraih lengan Stephanie, aku menariknya menjauhi pintu ruang kerja.
Kami segera menuju ke tangga depan, beberapa detik kemudian kami membuka pintu depan dan melangkah keluar. Angin dingin menyambut kami ketika kami menuruni bukit, awan-awan hitam melintas di depan bulan. “wah asyik juga ya tadi” ujar Stephanie menarik ritsleting jacketnya sampai ke dagu. “asyik?” aku tidak sependapat dengannya “menurutku sih agak menakutkan”
Stephanie menatapku sambil nyengir “tapi itu membuktikan kita bukan penakut, benar kan?” aku menggigil “ya” “rasanya aku ingin menjelajahi Hill House lagi” katanya “mungkin kita bisa kembali ke ruangan yang penuh suara, siapa tahu kita nanti ketemu hantu sungguhan
“yeah, boleh saja” kataku asal saja, aku terlalu capek untuk berdebat dengan Stephanie, ia mengeluarkan syal wol dari saku jaketnya ketika ia melilitkan di leher, satu ujungnya tersangkut pada semak-semak. Aku melepaskan ujung syal dari semak berduri, dan tiba-tiba saja aku mendengar suara itu, bisikan pelan, bisikan pelan di balik semak-semak.
tapi aku mendengarnya jelas sekali, “kalian temukan kepalaku?” itulah yang kudengar “kalian temukan kepalaku? kepalaku sudah ketemu?”
19.
Aku menahan napas dan menatap ke tengah semak-semak “Hei Stephanie, kau dengar itu? ujarku pelan, tak ada jawaban “Stephanie? Steph?” aku membalik, ia menatapku dengan tatapan kosong karena kaget. “kau juga dengar bisikan itu?” tanyaku sekali lagi, kemudian aku sadar bahwa bukan aku yang ditatapnyam pandangannya tertuju ke belakangku.
Aku berbalik, dan melihat anak laki-laki berambut pirang yang tadi ada di Hill House berdiri di samping semak-semak, “hei, kau yang berbisik-bisik ya? ujarku ketus. Ia memicingkan mata abu-abunya yang pucat “hah? aku?” “yeah, kau!” kataku “kau mau menakuti-nakuti kami ya?” ia menggelengkan kepala, “tidak”
“jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak?” aku bertanya sekali lagi, “aku baru sampai di sini” anak itu berkata, kurang dari semenit yang lalu ia masih di kamar kerja Joseph Craw, kataku dalam ahti, bagaimana caranya keluar begitu cepat? “kenapa kau membuntuti kami?” tanya Stephanie, anak itu cuma angkat bahu, “kenapa kau menatap kami terus tadi?” aku bertanya sambil melangkah ke samping Stephanie. Angin menderu-deru puncak bukit, semak-semak di samping kami bergetar, seolah-olah kedinginan, awan-awan hitam masih terus melintas di depan bulan.
anak itu tidak memakai jaket, cuma kaus turtleneck dan celana jeans hitam, rambutnya yang pirang berombak bergerak-gerak tertiup angin. “tadi kau melototi kami” Stephanie mengulangi, “kenapa?” anak itu kembali angkat bahu, matanya yang kelabu tertuju ke bawah, seakan-akan tak berani menatap kami, “aku lihat kalian pergi diam-diam” ujarnya “kupikir kalian... kalian melihat sesuatu yang menarik”
“kami tersesat” aku berkata sambil melirik Stephanie “kami tidak melihat apa-apa” “Siapa namamu?” tanya Stephanie” “Seth” ia menyahut, kami pun memperkenalkan diri. “kau tinggal di Wheeler Falls?” tanya Stephanie, ia menggelengkan kepala, ia masih juga menunduk, “tidak, aku cuma berjunjung ke sini” kenapa ia tidak mau menatap kami? apakah karena ia pemalu.
“jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak tadi?” aku bertanya sekali lagi, ia menggelengkan kepala, “bukan, mungkin ada yang mau mengolok-olok kalian” “bisa saja” kataku, aku melaju selangkah dan menendang semak-semak itu, aku sendiri tidak tahu untuk apa. dan ternyata memang tidak terjadi apa-apa.
“kau dan Stephanie keliling-keliling sendiri tadi, ya? tanya Seth “yeah, tapi cuma sebentar, kami suka hal-hal yang eh... berbau hantu” ia langsung menegakkan kepala sewaktu mendengar ucapanku, mula-mula ia menatap Stephanie, kemudian beralih padaku.
Sejak tadi wajahnya tak bereksperi sama sekali, tapi sekarang ia kelihatan benar-benar bersemangat, “kalian mau lihat hantu sungguhan?” ia bertanya sambil mendelik “mau?”
20.
Seth menatap kamu dengan pandangan menantang “kalian mau lihat hantu sungguhan?” “yeah, tentu” jawab Stephanie sambil membalas tatapannya, “apa maksudmu Seth?” tanyaku “memangnya kau pernah lihat hantu?” ia mengangguk “yeah, di situ” ia menggerakkan dagu ke arah rumah batu d belakang kami. “hah?” seruku “kau pernah lihat hantu sungguhan di Hill House? kapan?” “Duane dan aku sudah seratus kali ikut tur” ujar Stephanie “tapi tidak sekali pun kami lihat hantu di sana”
Seth tertawa terkekeh-kekeh “tentu saja, kalian pikir hantunya mau keluar di tengah rombongan tur? mereka tunggu sampai turnya selesai, mereka tunggu semua pengunjung pulang” “dari mana kau tahu?” tanyaku “aku pernah menyusup masuk” balas Seth, “malam-malam” “hah?” seruku “kau masuk dari mana?
“aku menemukan pintu di belakang, pintunya tidak terkunci, mungkin para pemandu lupa menguncinya” Seth menjelaskan “aku masuk diam-diam setelah semua turis pulang, dan aku..” ia mendadak terdiam, matanya tertuju ke rumah di puncak bukit. aku membalik dan melihat pintu depan membuka, sejumlah orang melangkah keluar sambil megencangkan mantel atau jaket mereka. tur terakhir sudah selesai, dan sekarang orang-orang itu hendak pulang ke rumah masing-masing.
“sebelah sini” bisik Seth, kami mengikutinya ke balik semak-semak dan jongkok di sampingnya, para peserta tur terakhir melewati kami, mereka tertawa, asyik membahas semua cerita hantu yang mereka dengar di Hill House tadi. Setelah mereka menuruni bukit, kami berdiri lagi, Seth menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang, tapi angin meniupkannya kembali ke kening
“aku masuk malam-malam, waktu rumah sudah gelap” ia mengulangi “orangtuamu tidak marah kau keluar malam-malam begini” aku bertanya. Ia tersenyum simpul “mereka tidak tahu” ujarnya pelan, senyumnya meredup “kalian boleh keluar jam segini?” Stephanie tertawa “Orangtua kami juga tidak tahu” “bagus” kata Seth.
“kau pernah benar pernah lihat hantu?” tanyaku, ia mengangguk, lalu menyibakkan rambutnya lagi, “aku diam-diam melewati Manny, si penjaga malam, ia sudah tidur lelap, asyik mendengkur, kau mengendap-ngendap sampai ke tangga depan , dan tiba-tiba aku mendengar suara tawa” aku menelan ludah “suara tawa?” “ya, dari puncak tangga, aku langsung mundur dan merapat ke dinding, dan aku lihat hantunya, Nenek-nenek yang sudah tua, ia pakai gaun panjang dan topi hitam, dan mukanya tersembunyi di balik cadar hitam yang tebal, tapi matanya tetap kelihatan, soalnya matanya menyala merah, seperti api!”
“Wow!” seru Stephanie “lalu bagaimana?” Seth berpaling ke arah rumah di puncak bukit, pintu depan sudah ditutup lagi, lentera di atas pintu telah dipadamkan, rumah itu tampak gelap gulita. “hantu tua itu meluncur lewat pagar tangga” Seth melaporkan “kepalanya mendongak, dan ia tertawa cekikikan sambil meluncur, matanya meninggalkan jejak merah membara, sepeti ekor komet”
“kau tidak takut?” tanyaku pada Seth “kau tidak berusaha kabur?” “tidak sempat” sahutnya “ia meluncur turun lewat pagar tangga, persis ke arahku, matanya menyala-nyala, dan ia terus berteriak dan cekikikan, aku merapat, aku merapat ke dinding, aku tidak bisa bergerak, dan waktu ia sampai bawah, kupikir ia akan menyambarku, tapi ternyata ia lenyap, hilang dalam kegelapan, cuma jejak matanya yang masih tampak”
“Oh, wow!” seru Stephanie “heboh” aku menimpali, “aku mau menyusup lagi” ujar Seth sambil melirik ke arah Hill House “aku yakin masih banyak hantu di situ, aku mau melihat semuanya” “aku juga” Stephanie langsung menyambut penuh semangat. Seth menatapnya sambil tersenyum, “jadi kalian mau ikut denganku? besok malam? aku malas kalau sendirian, bertiga pasti jauh lebih seru lagi” angin bertiup kencang, bulan tertutup awan-awan hitam, rumah tua di puncak bukit jadi semakin gelap “bagaimana, kalian mau ikut besok malam?” Seth menegaskan sekali lagi. “yeah, tentu!” Stephanie menyahut penuh semangat “aku sudah tidak sabar, kau bagaimana, Duane?” ia bertanya padaku “kau juga mau ikut kan, Duane?”
21.
Aku bilang ya, kubilang aku sudah tak sabar melihat hantu sungguhan, kubilang aku gemetaran karena angin yang dingin, bukan karena ngeri, kami sepakat untuk ketemu lagi dibelakang Hill House, besok tengah malam, kemudian Seth bergegas pergi, Stephanie dan aku berjalan pulang. Jalanan gelap dan lengang, lampu-lampu rumah sebagian besar sudah padam, di kejauhan terdengar anjing melolong.
Stephanie dan aku berjalan cepat-cepat, sambil membungkuk sedikti untuk melawan angin yang kencang, tidak biasanya kami berkeliaran di luar pada malam selarut ini, besok kami akan pulang lebih larut lagi. “Aku curiga pada anak itu” kataku ketika kami tiba di pekarangan rumah Stephanie, “ia aneh sekali” kupikir Stephanie bakal sependapat denganku, tapi ia malah berkata “kau cuma iri, Duane” “hah? Iri? Aku?” aku tidak percaya ia bilang begitu, “kenapa aku harus iri?”
“karena Seth begitu berani, karena ia pernah melihat hantu, sementara kita belum” aku menggelengkan kepala “kau percaya pada ceritanya? Kau percaya ada hantu yang main perosotan di pagar tangga?” menurutku sih, ia cuma mengada-ada” “hm..” Stephanie bergumam “besok malam kita akan dapat jawabannya” besok malam datang lebih cepat daripada yang kuinginkan.
Siang itu aku ada ujian matematika di sekolah, dan kurasa hasilnya tidak akan bagus, karena aku terus memikirkan Hill House, Seth dan hantu. Sehabis makan malam, mom mendatangiku di ruang duduk, ia mengusap rambutku dan mengamati wajahku, “kau kelihatannya capek sekali” katanya “di sekeliling matamu ada bayangan gelap” “mungkin karena aku keturunan racoon” sahutku, aku selalu bilang begitu kalau mom menyinggung lingkaran gelap di seputar mataku.
“lebih baik kau tidur cepat malam ini” dad menimpali, ia selalu memaksa semua orang agar tidur cepat, jadi pukul setengah sepuluh aku sudah harus masuk kamar, tapi tentu saja aku tidak tidur. Jadi, setengah sepuluh ak usudah masuk kamar, tap tentu saja aku tidak tidur, aku membaca buku dan mendengarkan msuik lewat walkmanku, aku menunggu Mom dan Dad masuk kamar, sebentar-sebentar aku melirik ke arah jam, kalau sudah tidur, mom dan dad tidak bisa diganggu oleh apa pun juga, biar ada bom meledak di sebelah rumah mereka takkan bangun.
Wheeler Fells prenah diterjang angin badai suatu malam, dan mereka sama sekali tidak terusik, sungguh mereka tidak tahu ada pohon tumbang menimpa atap rumah kami. Orang tua Stephanie juga begitu, itulah sebabnya kami berdua begitu mudah keluar lewat jendela kamar tidur masing-masing, itulah sebabnya begitu mudah bagi kami untu bergentayangan di malam hari.
Tengah malam semakin dekat, aku semakin gelisah, sebenarnya ak ulebih suka gentayangan di sekitar rumah, aku lebih suka bersembunyi di bawah jendela Chrissy Jacob, lalu melolong seperti serigala, Setelah itu melempar laba-laba karet ke tempat tidur Ben Fuller. Tapi menurut Stephanie itu terlalu membosankan, kami butuh tantangan baru, katanya, kami harus memburu hantu, Bersama anak aneh yang tak pernah kami lihat sebelumnya.
Sepeuluh menit sebelum tengah malam aku memakai jaketku dan memanjat keluar lewat jendela kamar. Angin dingin menyambutku, butir-butir hujan es menerpa keningku, aku segera menutup kepala dengan tudung jaket, Stephanie sudah menunggu di depan rumahnya, rambutnya yang cokelat ditarik ke belakang dan dikuncir, jaketnya terbuka, di baliknya ia memakai sweter tebal untuk main ski.
Ia mendongakkan kepala dan melolong panjang “Oooooo....” aku langsung membekap mulutnya “Ssst.. nanti semua orang bangun” ia tertawa dan mundur selangkah, “aku sudah tidak sabar nih” kayanya lalu ia melolong lagi. Hujan es berjatuhan, kami bergegas ke arah Hill House, angin yang kencang meniup ranting-ranting daun-daun mati yang berserakan, hampir semua rumah yang kami lewati sudah memadamkan lampunya.
Sebuah mobil melintas pelan-pelan ketika kami membelok ke Hill Street, Stephanie dan aku cepat-cepat sembunyi di balik pagar tanaman, pengemudi mobil pasti heran melihat dua anak berkeliaran di tengah malam buta. Jangankan dia, aku sendiri juga heran, kami menunggu sampai mobil itu berlalu, kemudian kami mendaki nukit yang menuju ke Hill House, rumah hantu itu menjulang tinggi di depan, bagaikan monster yang siap menelan kami. Tur terkhir sudah selesai, semua lampu sudah mati, Otto, Edna, dan para pemandu lain pasti sudah sampai rumah masing-masing.
“ayo dong Duane, cepat!” Stephanie mendesak, ia mulai berlari melewati sis rumah “Seth pasti sudah menunggu” “tunggu” seruku, kami menyusuri jalan setapak yang menuju ke belakang. Aku memicingkan mata dan memandang berkeliling dalam kegelapan, Seth tidak kelihatan. Pekarangan belakang ternyata penuh barang rongsokan, tong-tong sampah yang tebuat dari loga, dan sudah berkarat di mana-mana, berderet seperti pagar, sebuah tangga kayu tergeletak di tengah alang-alang, peti-peti kayu, gentong-gentong, dan kardus-kardus bekas berserakan di mana-mana, sebuah mesin potong rumput tersandar ke dinding.
“wah gelap sekali di sini” bisik Stephanie “kau melihat Seth?” “aku tidak melihat apa-apa” sahutku, juga sambil berbisik, “mungkin ia berubah pikiran, mungkin ia tidak jadi datang” Stephanie hendak menjawab, tapi teriakan tertahan dari sisi rumah membuat kami tersentak kaget. Aku melihat Seth muncul, rambutnya yang pirang berkibar-kibar, matanya terbelalak lebar, kedua tangannya memegang tenggorokannya.
“hantunya!” ia berseru sambil terhuyung-hunyung “aku dicekik hantu!” Seth ambruk di depan kaki kami, dan tidak bergerak.
22.
“Kau kenapa Seth?” aku bertanya dengan santai, “kenapa kau guling-gulingan di tanah?” tanya Stephanie tak kalah tenangnya. Pelan-pelan Seth mengangkat kepala dan menatap kami, “kalian tidak ngeri?” “kenapa mesti ngeri?” sahutku, Stephanie geleng-geleng kepala “itu tipuan bagus” katanya kepada Seth, “Duane dan kau sudah beribu kali menjaili orang dengan tipuan serperti itu”
Seth kembali berdiri, menepis-nepis tanah yang menempel pada kaus turtleneck hitamnya, ia merengut dan kelihatan kecewa, “aku cuma mau menakut-nakuti kalian” “kalau begitu jangan pakai tipuan kuno” ujarku. “Duane dan aku jagoan menakut-nakuti orang” Stephanie menambahkan, “bisa dibilang itu hobi kami” Seth merapika rambutnya dengan kedua tangannya “kalian memang aneh” ia bergumam, aku menyeka butir air hujan dingin yang menempel di alisku “siap untuk masuk?’ tanyaku tidak sabar.
Ia mengajak kami ke pintu kecil di belakang rumah “ada masalah waktu kalian menyusup keluar ruamh tadi? Tanyanya sambil berbisik, “tidak, semuanya lancar” jawab Stephanie, Seth menghampiri pintu dan mengangkat palang yang terbuat dari kayu “tadi aku sempat ikut tur lagi” katanya “Otto memeperlihatkan kamar-kamar baru yang bisa kita periksa sekarang”
“Asyik” Stephanie berseru “kau yakin kita bakal lihat hantu sungguhan?” Seth berpaling padanya, lalu mengembangkan senyum yang aneh “aku jamin!” katanya.
23.
Seth menarik pintu sampai terbuka, kami menyelinap masuk, menyelinap ke kegelapan yang pekat, keadaannya terlalu gelap untuk melihat tempat kami berada, aku maju beberapa langkah dan menabrak Seth “sst..” ia memperingatkanku “Manny si penjaga malam ada di ruangan depan, kurasa ia sudah tidur sekarang, tapi sebaiknya kita tetap di bagian belakang”
“Di mana kita? Bisikku “di salah satu ruang belakang” bisik seth “tunggu sebentarm mata kita bakal terbiasa” “kenapa kita tidak menyalakan lampu saja?” tanyaku “karena tidak akan ada hantu yang keluar kalau terang” jawab Seth. Kami sudah menutup pintu, tapi embusan angin dingin tetap menerpa tengkukku, aku menggigil, aku menahan napas ketika mendengar bunyi kertak-kertuk, apakah bunyi itu benar-benar ada atau cuma khayalanku?
Aku membuka tudung jaket agar dapat mendengar lebih jelas, hening “aku tahu kita bisa mendapatkan lilin” bisik Seth “kalian tunggu di sini saja, jangan bergerak!” “jangan kuatir” aku tergagap-gagap, aku tak bakal mau bergerak sebelum mataku terbiasa melihat dalam gelap. Aku mendengar Seth bergerak menjauh, suara langkahnya terdengar pelan, lalu hilang saam sekali, aku kembali merasakan embusan angin dingin di tengkukku “Oh!” aku memkik tertahan ketika suara kertak-kertuk itu terdengar lagi.
Bunyinya pelan sekali, seperti bunti tulang-belulang yang beradu, sekali lagi aku merasakan embusan angin di tengkukku, embusan napas hantu! Kataku dalam hati, aku merinding dan seluruh tubuhku gemetaran. Tulang belulang itu berkertak-kertuk lagi, kali ini lebih dekat, sangat dekat. Aku menggapai-gapai meja, atau apa saja, tapi yang kutemukan hanya udara, aku menelan ludah, tenang saja, Duane, kataku dalam hati, sebentar lagi Seth sudah kembali membawa lilin, setelah itu kau bisa lihat bahwa tak ada yang perlu ditakuti.
Tapi bunyi itu terdengar lagi, aku langsung menahan napas, “Steph, kau dengar itu?” bisikku, tak ada jawaban, angin dingin meniup tengkukku, tulang-belulang itu berkertak-kertuk lagi, “Steph? Kau dengar itu? Steph?” tak ada jawaban “Stephanie? Steph?” aku memanggil tapi ternyata ia sudah lenyap.
24.
Waktunya untuk panik! Napasku mulai terengah-engah, jantungku berdegup-degup, lebih keras dari bunyi tulang-belulang itu, seluruh tubuhku gemetaran. “Stephanie? Steph? Di mana kau?” aku memanggil dengan suara tertahan. Kemudian keulihat sepasang mata kuning bergerak mendekatiku, sepasang mata yang menyala-nyala, melayang tanpa suara, bersinar-sinar jahat, semakin dekat, dekat..
Aku berdiri sperti patung, aku tak bisa bergerak, aku tak bisa melihat apa pun selain kedua mata kuning yang bersinar-sinar itu. “Ohh!” aku mengerang, sepasang mata kuning itu terus maju, dan semakin dekat, baru kulihat ternyata itu lilin menyala, dua lilin menyala berdampingan, sekarang aku bisa melihat wajah Seth dan wajah Stephanie, mereka berjalan sambil membawa lilin menyala di tangan masing-masing.
“Stephanie, ke mana kau tadi?” seruku parau “A-Aku pikir..” “aku ikut Seth” sahutnya dengan tenang. Cahaya lilin yang berwarna jingga menerangi wajahku, Stephanie bisa melihat betapa paniknya aku “Maaf, Duane” ujarnya pelan “kan sudah kubilang, aku mau ikut Seth, kupikir kau dengar” “ada suara kertak-kertuk” aku tergagap-gagap “kedengarannya seperti tulang-belulang, tengkukku terus kena angin dingin, dan terus terdengar...”
Seth menyodorkan sebatang lilin “nyalakan!” katanya “Setelah itu kita mulai menyelidiki tempat ini, kita cari sumber bunyi itu!” aku menerima lilin itu dan menempelkan sumbunya ke lilin Seth, tanganku gemetaran begitu kerasm sehingga aku harus mencoba lima kali sebelum sumbunya menyala, tapi akhirnya berhasil juga.
Aku memandang berkeliling dalam cahaya jingga yang menari-nari “hei, kita di dapur” bisik Stephanie. Lagi-lagi tengkukku kena embusan angin dingin “tuh kan, kalian merasakan juga?” tanyaku, Seth memakai lilinnya untuk menunjuk ke jendela dapur, “lihat Duane, kaca jendela itu berlubang, angin masuk lewat lubang itu” “oh” angin kembali berembus, dan bunyi kertak-ketuk itu terdengar lagi, “tuh kalian dengar itu?” Aku bertanya.
Stephanie tertawa cekikikan, ia menunjuk ke dinding dapur, dalam cahaya redup aku melihat panci-panci besar tergantung di dinding “Panci-panci itu membentur dinding karena tertiup angin” Stephanie menjelaskan “itu yang kaudengar”
“haha” aku memaksakan tawa “aku sudah tahu kok, aku cuma mau menakuti kalian” aku berdalih “supaya terkesan lebih seram saja” aku merasa konyol sekali, tapi tak mungkin aku harus jujur bahwa tadi aku ketakutan gara-gara panci itu. “oke, jangan bercanda lagi” kata Stephanie sambil berpaling pada Seth “kami mau lihat hantu sungguhan”
“ikut aku! Aku akan memperlihatkannya sesuatu yang Otto ceritakan padaku!” bisiknya, sambil memgang lilin dapur, menuju ke dinding di samping kompor, ia menurunkan lilinnya di depan sebuh pintu lemari. Kenudian ia membuka pintu itu dan mendekatkan lilin, supaya kami bisa melihat ke dalam.
“untuk apa kau tunjukkan lemari daput ini?” tanyaku “apa hubungannya dengan hantu?” “ini bukan lemari” jawab Seth “ini pengungkit, coba saja lihat!” ia meraih ke dalam dan menarik tali yang tergantung di samping rak, seketika rak itu mulai naik. Seth menaikkan rak itu, lalu menurunkannya lagi “lihat kan!, pengungkit ini semacam lift mini, dulu dipakai untuk mengerek makanan dari dapur ke kamar tidur utama di atas”
“maksudnya kalau majikan rumah tiba-tiba lapar?” aku berkelakar, Seth mengangguk “makanannya ditaruh di rak ini oleh juru masak, lalu menarik tali dan raknya bergerak ke atas” “tapi apa hubungannya dengan hantu?” aku bertanya sekali lagi. “yeah” Stephanie menimpali “untuk apa kau perlihatkan pengungkit ini?” Seth mendekatkan lilin ke wajahnya “otto bilang pengungkit ini ada hantunya, seratus dua puluh tahun yang lalu ada kejadian aneh di sini”
Stephanie dan aku langsung mendekat, aku menurunkan lilin dan memeriksa pengungkit itu, “kejadian apa?” tanyaku. “begini, si juru masak biasanya menaruh makanan di rak dan membawanya ke atas dengan ini, tapi anehnya waktu sampai di atas, makanannya sudah hilang”
Stephanie menatap Seth sambil memicingkan matanya “jadi, makanannya menghilang diantara lantai ini dan lantai atas?” Seth mengangguk, matanya yang kelabu tampak bersinar-sinar dalam cahaya lilin “kejadian berulang kali terjadi, makanannya hilang tanpa bekas entah kenapa”
“wow!!” aku bergumam, “sang juru masak jadi ketakutan, ia takut pengungkit ini berhantu dan ia tak mau lagi menggunakannya, dan ia juga menyuruh pelayan yang lain untuk tidak menggunakannya lagi” “sudah? Selesai? Hanya seperti itu?” tanyaku Seth lalu melanjutkan “lalu terjadi sesuatu yang menyeramkan” “apa?” Stephanie bertanya sambil melongo. “ada beberapa anak yang berkunjung ke sini, diantara mereka ada anak bernama Jeremy, jeremy ini suka berulah, dan nekat, waktu ia menemukan pengungkit ini, dia naik pengungkit ini ke lantai atas sana”
“kasihan!” Stephanie bergumam, aku merinding aku seakan bisa menebak apa yang terjadi
“Jeremy duduk di rak dan salah satu temannya menarik tuas pengungkit, tiba-tiba pengungkitnya macet dan tidak mau naik atau turun, jeremy terjebak ditengahnya” “anak lain memanggil, apa kau baik-baik saja? Tapi jeremy tidak menyahut, mereka mulai kuatir, mereka menarik dengan sekuat tenaga tapi sayang tidak bergerak sama sekali”
“tiba-tiba saja pengungkitnya jatuh keras sekali” “jeremy masih duduk di sana?” aku langsung memotong. Seth menggelengkan kepala “di rak itu ada tiga mangkuk yang tertutup, teman-teman jeremy mengangkat tutup pertama dan melihat jantung jeremy yang masih berdetak, mereka lalu membuka tutup piring kedua dan melihat mata jeremy yang melotot ngeri, lalu tutup yang terakhir mereka melihat gigi Jeremy yang masih bergemeletuk ngeri”
Kami bertig pun membisu, tanpa berkedip membayangkan dan menatap rak di depan kami, tiba-tiba, aku menggigil, panci-panci tadi kembali bunyi karena membentur dinding, aku menatap Seth “kau yakin cerita itu benar terjadi?” Stephanie tertawa, tertawa gelisah “mana mungkin kan?” katanya. Seth masih serius, “kau percaya cerita-cerita Otto yang lain? Ia bertanya padaku “ehmm.. ada yang kupercaya ada juga yang tidak” aku menjawab dengan ragu.
“Otto kan pandai bercerita, tapi aku tidak mau dengar cerita, aku mau lihat hantunya” kata Stephanie “ikut aku!” kata Seth, lilinnya nyaris pada ketika ia berbalik, ia mengajak kami melintasi dapur, masuk ke ruangan yang panjang dan sempit di bagian belakang, “tempat ini dulu dipakai sebagai pantri, semua makanan untuk para penghuni ada di sini” Seth menjelaskan. Stephanie dan aku berjalan melewati ruangan, ketika aku berbalik, aku melihat Seth menutup pintu kemudian melihatnya mengunci pintu itu, “hei, mau apa kau? Aku bertanya “kenapa kau mengunci kami di sini?” Stephanie bertanya dengan kesal.
25.
Lilinku terlepas dan jatuh, apinya langsung padam, lilinnya menggelinding ke bawah lemari, aku melihat Stephanie menghampiri Seth “Seth, apa-apaan sih, buka pintunya, tidak lucu!” katanya gusar. Aku memandang berkeliling di ruangan yang sempit dan memanjang, di tiga dinding ada rak yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, tak ada jendelam tak ada pintu lain untuk meloloskan diri, sambil berteriak, Stephanie berusaha meraih pegangan pintu, tapi Seth menghadangnya.
Matanya yang keperakan tampak bersianr di balik linlinnya, ia menatap kami tanpa bicara, sorot matanya dingin dan tajam, Stephanie dan aku mundur selangkah, dan saling mendesak “maaf, aku telah berbohong” Seth berkata. “apa?” Stephanie berseru heran, tapi ia kesal, “berbohong apa?” Seth menyibakkan rambutnya, api lilin di tangannya yang lain menimbulkan bayangan yang menari-nari di wajahku, “namaku bukan Seth” ujarnya.
“ta-tapi..” aku tergagap-gagap “namaku Andrew” kata Seth, “tapi Andrew kan nama si hantu” Stephanie dan aku sama-sama berteriak kaget “hantu yang kehilangan kepalanya” “akulah hantu itu” Seth menjawab, lalu ia tertawa, bunyinya lebih mirip orang batuk daripada tertawa “aku kan sudah janji akan memperlihatkan hantu sungguhan, inilah.. aku!!”
Ia meniup lilinnya sampai padam, dan bersamaan dengan matinya api lilin, ia menghilang dari pandangan, “tapi.. Seth...” kata Stephanie, “andrew” anak itu meralat “namaku Andrew, sudah lebih dari seratus tahun aku bernama Andrew” “lepaskan kami” aku memohon “kami takkan cerita bahwa kami melihatmu, janji...” “kalian tidak akan bisa pergi”
Tiba-tiba aku jadi teringat cerita arwah hantu kapten, saat Andrew masuk ke kamar si hantu kapten dan melihatnya, si hantu kapten mengatakan kata-kata yang sama “kau sudah melihatku, kau tak akan bisa pergi”
“S-Seharusnya kau kan tidak punya kepala” aku berkata, “berarti kau bukan Andrew” Stephanie menambahkan “kau masih punya kepala!” dalam cahaya redup dari lilin Stephanie, aku melihat Andrew tersenyum jahat “kalian salah!” katanya pelan “salah jika mengira aku tidak punya kepala, ini hanya kupinjam” lalu ia menempelkan tangannya ke pipi, “nih, lihatlah!” ujarnya. Kemudian ia mulai mencopot kepalanya.
26.
“Jangan!” Stephanie berteriak, aku memejamkan mata, tak sanggup melihat, tapi ketika aku memebuka mata, Andrew sudah menurunkan tangannya, sekali lagi aku memandang sekelilingku, bagaimana caranya agar bisa melarikan diri? Bagaimana kami harus kabur? Si hantu ini menghalangi satu-satunya jalan keluar. “kenapa kau mengelabui kami? Tanya Stephanie “kenapa kau membawa kami kesini?” Andrew menghela napas “kan sudah kubilang, kepala ini cuma kupinjam” ia mengusap rambutnya dengan sebelah tangan, lalu menepuk-nepuk pipi, “kepala ini cuma pinjaman, aku harus mengembalikkannya”
Stephanie dan aku menatapnya membisu, kami menunggu ia melanjutkan ceritanya, kami menunggu ia menjelaskan alasannya kenap harus kami. “Semalam aku melihatmu di tengah rombongan tur” Andrew berkata sambil melihatku “yang lain tidak bisa melihatku, cuma kau yang bisa” “kenapa?” aku bertanya dengan suara gemetar, “karena kepalamu!” ia menyahut “aku suka kepalamu” “hah? Apa?” suaraku parau karena ngeri, ia kembali mengusap rambutnya yang pirang “kepala ini harus kukembalikan, Duane, jadi sekarang kepalamu kupinjam” katanya dengan tenang dan tatapan yang dingin.
27.
Saking takutnya, entah kenapa aku sampai tertawa, kenapa orang yangh ketakutan malah tertawa? Mungkinkah kalau tida ketawa kita bakal menjerit, meledak atau semacamnya. Aku terperangkap di ruangan sempit dan gelap bersama hantu berumur seratus tahun yang mengincar kepalaku, kau menatapnya sambil memicingkan mata “kau bercanda kan?” ia menggelengkan kepala, lalu menatapku dengan tajam “aku perlu kepalamu, Duane” ujarnya pelan, ia angkat bahu dan pasang tampang seolah-olah menyesal “aku akan mencopotnya secepat mungkin sampai kau tidak akan merasakan apa-apa, Duane”
“Ta-tapi aku juga perlu kepaku!” aku tergagap-gagap karena ngeri “aku pinjam sebentar kok, nanti kukembalikan kalu ku sudah mendapatkan kepalaku yang asli, aku janji!” “dan kau pikir karena itu aku menuruti keinginanmu?” tanyaku, ia kembali maju menghampiriku, Stephanie dan aku mundur selangkah, kami tidak bisa mundur lagi, di belakang kami sudah ada rak yang menghadang. Tiba-tiba Stephanie bicara “Andrew, kami akan cari kepalamu!” ia menawarkan kepadanya dengan suara gemetaran.
Aku melihat Stephanie, seumur hidup, baru kali ini aku melihatnya setaku sekarang, dan karena itu aku jauh lebih takut lagi. “yeah, pasti” aku menimpali Stephanie “kami akan cari kepalamu yang asli, kami akan mencarinya sepanjang malam, kami hapal rumah ini, aku yakin kami pasti menemukannya, asal kau beri kesempatan pada kami” ia menatap kami tanpa berkata apa pun.
Rasanya aku ingin berlutut di depannya dan memohon agar ia memberi kesempatan pada kami, tapi aku takut justru ia akan langsung mencopot kepalaku kalau aku melakukannya. “kami akan menemukannya, Andrew, pasti” Stephanie menegaskan kembali, Andrew menggelengkan kepala, kepala pinjamannya “itu tidak mungkin” ia bergumam sedih “kalian tahu, sudah berapa lama aku berusaha mencarinya? Lebih dari seratus tahun, aku mencarinya disetiap lorong, kamar setiap lemari atau rak, tapi tak kutemukan”
Ia maju selangkah lagi, matanya tak beralih dari kepalaku, aku tahu ia sedang mengamatinya sambil membayangkan bagaimana rasanya kalau kepalaku sudah menempel di pundaknya. “aku saja tidak menemukannya, kenapa aku harus percaya kalian dapat menemukannya” “karena.. ehm.. “ Stephanie berpaling padaku.
“ehm.. mungkin kami akan lebih beruntung” aku berseru meski tahu betapa konyol, betul-betul konyol jawabanku. “maaf, buang-buang waktu saja, aku lebih perlu kepalamu, Duane!” “beri kami kesempatan!” teriakku, ia maju selangkah lagi, sekarang ia mengamati rambutku, mungkin ia ingin membiarkannya tumbuh lebih panjang.
“Andrew, jangan!!” aku memohon, percuma saja, matanya menatap kosong, ia mengangkat kedua tangannya dan melangkah maju, Stephanie dan aku merapat ke rak “serahkan kepalamu!!” hantu itu berbisik, kau tidak bisa mundur lagi, “aku perlu kepalamu, Duane!!” Stephanie dan aku saling mendesak, hantu itu semakin mendekat, kami sampai berjinjit untuk menjauhi tangannya, tiba-tiba sikuku membentur sesuatu, aku mendengar barang-barang berat jatuh dari rak “Aku perlu kepalamu, Duane!” ia mengepalkan tangan, dau langkah lagi ia akan bisa mencengkeram leherku.
“Kepalamu! Serahkan kepalamu!!” aku memejamkan mata, kemudian terdengar bunyi berderak, dan kemudian rak itu mulai bergeser, aku mundur dan tersadar, seluruh dinding ikut bergerak, “A-ada apa ini?” aku bertanya tergagap, si hantu Andrew meraih kepalaku, “nah, kena kau!”
28.
Si hantu melompat maju dengan tangan siap menyergap, aku merunduk dan mundur terhuyung-huyung, karena dinding belakang terus bergeser, dinding itu berderak-derak sambil berputar pelan, Stephanie jatuh ke lantai yang keras, aku cepat-cepat membantunya berdiri sementara Andrew kembali mencoba menyambar leherku.
“ada terowongan!” aku berseru, bagian dinding yang bergeser itu ternyata pintu sebuah terowongan rahasia, besarnya pas untuk dilewati sambil membungkuk, aku menarik Stephanie, kami segera menyelinap masuk, kami berada di dalam terowongan yang panjang dan rendah, terowongan yang tersembunyi di balik dinding yang bisa bergeser. Aku memang pernah dengar bahwa rumah-rumah tua sering dilengkapi lorong-lorong rahasia dan ruang-ruang tersembunyi, namun ak utak menyangka aku diselamatkan oleh terowongan seperti itu.
Stephanie dan aku lari, langkah kami berdebam-debam di lantai yang keras, kami melewati dinding-dinding beton yang sudah retak-retak krena dimakan waktu, kami terpaksa membungkuk sambil berlari, langit-langit terowongan itu terlalu rendah untuk lari sambil berdiri. Stephanie mengurangi kecepatan, menoleh ke belakang, “apa dia mengejar?” “sudah, lari saja!!” seruku “terowongan ini pasti menuju keluar dari rumah!” “tapi aku tak bisa melihat apa-apa” balas Stephanie terowongan ini membentang lurus, tapi yang kulihat di ujungnya hanyalah kegelapan yang pekat, apa mungkin terowongan ini tidak berujung? Jika benar, aku akan terus berlari, sampai bisa keluar.
Kalau sudah sampai di luar aku takkan kembali ke Hill House, takkan mau lagi berurusan dengan hantu, dan aku akan terus jaga kepala ini, jelas aku masih membutuhkannya. Semuanya sudah kurencanakan, tapi ada kalanya rencanya tidak sesuai harapan, “Ohh!” Stephanie berteriak kaget ketika nyaris menabrak dinding.
Kami telah sampai di ujung terowongan! Dan ternyata tidak ada jalan keluar, “terowongan ini buntu!!” aku berteriak, dengan napas tersengal-sengal, kau menggedor-gedor tembok itu dengan kedua tangan, “untuk apa orang membuat terowongan rahasia yang buntu?” “coba dindingnya kita dorong, mungkin sama seperti tadi, bisa digeser” seru Stephanie. Kami menempelkan bahu ke dinding dan mendorong dengan sekuat tenaga, aku sampai mengerang-erang, aku masih mendorong-dorong ketika terdengar suara langkah di terowongan belakang kami, Andrew!!
“dorong!!” teriak Stephanie “Ayo!! Bergeserlah, ayo!!” aku berkata dalam kepanikan yang luar biasa, aku melongok ke belakang, dan melihat Andrew, ia berlari ke arah kami “Kita terperangkap” keluh Stephanie, ia mendesah lalu duduk sambil bersandar ke dinding yang menghalangi kami, Andrew semakin dekat
“Duane, aku butuh kepalamu!!” ia berteriak, suaranya memantul-mantul di dinding terowongan, “kita terperangkap” keluh Stephanie lesu, “belum tentu” ujarku sambil menunjuk ke sudut gelap “lihat! Ada tangga di sana!” “hah?” Stephanie kaget dan lagsung berdiri kembali, ia memicingkan mata, mengamati tangga itu, Sebuah tangga tegak lurus, dengan pijakan dari logam yang tertutup debu tebal, tangga itu melewati lubang kecil berbentuk bujur sangkar di langit-langit yang rendah, ke manakah tangga itu berujung?
“Duane, serahkan kepalamu!!” si Andrew berseru mengancam, terburu-buru aku berpegangan pada tiang logam di kedua sisi tangga, aku menaruh kaki pada pijakan pertama dan memandang ke atas. Tapi yang kelihatan hanya kegelapan, tak ada apa-apa selain kegelapan yang pekat, “Duane.. kita tidak tahu tangga ini menuju ke mana!” “masa bodoh! Memangnya kita punya pilihan?”
29.
Mau ke mana kau Duane? Aku perlu kepalamu!” tanpa menghiraukannya kami terus memanjat sampai-sampai Stephanie menabrakku dari bawah. Sepatu ketsku tergelincir pada lapisan debu yang tebal, tanganku berulang kali merosot pada tiang tangga yang dingin dan licin. “Duane, kau takkan lolos” Andrew mengancam dari bawah tangga, naik terus! Tegak lurus! Kami memanjat secepat kami bisa, meski napas kami terus memburu, naik terus! Sampai kami sadar tangga itu miring, “Ohh!!” aku berteriak ketika tangga itu tiba-tiba maju ke depan tapi teriakanku dikalahkan oleh bunyi tubrukan yang keras, dan aku sadar, dindingnya amruk, hancur... dan kami... jatuh... aku mendengar Stephanie berteriak ngeri.
Aku menyambar tiang tangga dengan kedua tangan dan berpegangan erat-erat, tapi tangganya meluncur ke bawah, “aduh!” aku terempas ke dasar terowongan, secara refleks, aku melepaskan tangan dan terpental dari tangga, aku berguling di tengah reruntuhan tembok. Stephanie mendarat dengan lututnya, ia menggelengkan kepala karena kesakitan, reruntuhan tembok berjatuhan di sekeliling kami, rambut Stephanie penuh debu, aku melindungi mata, menunggu hujan batu dan semen berhenti.
Ketika aku membuka mata, Andrew sudah berdiri di hadapanku, kedua tangannya terkepal, mulutnya menganga, pandangannya tertuju... ke belakangku.., aku bangkit dengan susah payah, lalu berbalik untuk mengetahui apa yang dia lihat. “Ruang rahasia!” Stephanie berteriak, lalu melangkah ke sampingku, “ternyata ada ruang rahasia di balik dinding tua ini” kami maju sambil melangkahi reruntuhan dinding, dan kemudian kami melihat apa yang menarik perhatian Andrew,
SEBUAH KEPALA!!
Kepala anak laki-laki yang tergeletak di tengah-tengah lantai ruang rahasia, “astaga! Kita menemukannya! Kita berhasil menemukannya!” teriak Stephanie. Aku menelan ludah, lalu melangkah pelan-pelan, meskipun hanya diterangi cahaya redup, kepala itu tampak putih pucat, jelas kelihatan bahwa kapala anak laki-laki, tapi rambutnya yang panjang dan berombak sudah putih semua, dan matanya berpendar hijau di wajahnya yang pucat, bagaikan sepasang batu zamrud.
“kepala si hantu” aku bergumam dan segera berpaling pada Andrew “Kami menemukannya!” tadinya kupikir ia akan tersenyum, kupikir ia akan melompat girang, sesuatu yang dicarinya selama seratus tahun akhirnya telah ditemukan dan mengakhiri pencariannya yang telah lama sekali. Tapi diluar dugaan, wajahnya malah berkerut ngeri, ia bahkan tak memperdulikan kepalanya yang sudah lama hilang, pandangannya malah tertuju ke atas kepala itu, lalu ia berteriak ketakutan “Ada apa, Andrew?” tapi ia tidak memperdulikanku, ia terus menatap langit-langit, kemudia ia mengangkat sebuah tangan sambil menunjuk “Ohh! Ya ampuuunnn”
Aku menoleh untuk melihat apa yang membuatnya ketakutan seperti itu, dan kulihat sosok putih melayang dari langit, kupikir ada tirai tipis yang jatuh, tapi ketika sosok itu menyentuh lantai, aku sadar sosok itu bertangan, dan memiliki kaki, dan tubuhnya hampir transparan, tiba-tiba angin dingin berhembus “A-Ada hantu! Hantu!!” Stephanie berteriak sambil menyambar tanganku
30.
Tanpa bersuara, hantu itu mendarat di lantai ruang rahasia, kedua tangannya merentang seperti sayap, Stephanie dan aku sama-sama berteriak tertahan ketika hantu itu berdiri tegak dan mengangkat tanggannya, hantu itu pendek, dan kurus, ia memakai celana panjang model kuno dan kemeja lengan panajang bererah tinggi,
Berkerah tinggi! Hanya kerah! Tak ada kepala!
Aku merasakan hembusan angin dingin ketika ia membungkuk, memungut kepala yang tergeletak di lantai, gerakannya amat ringan. Lalu mengangkat kepala itu, memasangnya dengan hati-hati, setelah tertempel, matanya yang hijau tiba-tiba menyala, pipinya berkedut, alis matanya yang putih pucat naik-turun, dan kemudian mulutnya mulai bergerak, hantu itu berpaling kepada aku dan Stephanie, lalu ia mengucapkan
“TERIMA KASIH, TERIMA KASIH”
Lalu ia mengangkat kedua tangannya, matanya yang hijau masih memandang kami untuk beberapa saat, lalu ia melayang kembali, sosoknya ringan seperti kapas dan tidak mengekuarkan suara sedikitpun, kami terbengong-bengong, jantungku berdegup kencang, dengan mata melongo aku memandang hantu itu menghilang dalam kegelapan.
Kami sekarang berpaling pada ‘Andrew’, kami baru saja melihat hantu tanpa kepala, kami baru saja melihat Andrew yang sebenarnya, anak laki-laki yang meninggal seratus tahun lalu itu, melihatnya mengambil kepalanya!. Tapi anak laki-laki yang mengaku bernama Andrew ini masih bersama kami, ia masih berdiri di belakang kami, tubuhnya gemetar, matanya masih melongo ngeri. Aku menatapnya sambil memicingkan mata “kau bukan hantu Andrew! Kalau kau bukan hantu tanpa kepala, siapa kau sebenarnya hah?
31.
Stephanie langsung melabraknya “yeah, siapa kau sebenarnya? Katakan!” tanyanya gusar namun kesal “kalau kau bukan hantu tanpa kepala, kenapa kau mengejar-ngejar kami?” aku mendesaknya untuk menjelaskan. “Uhh.. ehmmm... aku...” ia terbata-bata sambil mengangkat tangannya seolah-olah menyerah, kemudian ia mundur, ia baru mundur tiga langkah ketika kami mendengar suara langkah dari terowongan.
“siapa di sana?” sebuah suara berat menggelegar, aku melihat sinar senter menuju dasar terowongan. “Siapa di situ?” suara itu bertanya sekali lagi, aku megenali suara itu, Otto! “ehm... kami di sini!” kata anak itu “Seth..itu kau ya?” lingkaran cahaya di dasar terowongan semakin dekatm Otto muncul di belakang anak itu, dan ia menatap anak itu sambil memicingkan mata “Ada apa ini? Kenapa kau ada di sini? Tempat ini sangat berbahaya, semua dindingnya sudah hampir ambruk”
“Ughh.. kami cuma ingin menyelidiki tempat ini” Seth menjelaskan “tapi kemudian kami tersesat, ini bukan salah kami” Otto menatap Seth dengan tatapan tajam, kemudian ia membelalakkan mata karena heran ketika melihat Stephanie dan aku juga ada di sini “Lho, kalian! Bagaimana kalian bisa masuk? Kenapa bisa sampai ada di sini?”
“ia... ehm.. ia mengajak kami masuk lewat pintu belakang” sahutku sambil menunjuk Seth. Otto kembali berpaling pada Seth, lalu menggelengkan kepala, “Mau iseng lagi? Kau mau menakut-nakuti mereka?
“tidak juga paman Otto!” jawab Seth sambil menunduk, paman? Berarti Seth keponakan Otto pantas ia tahu banyak tentang Hill House “terus terang Seth, kau berlagak jadi hantu lagi kan? Kau belum kapok juga rupanya menjahili anak-anak?” Seth terdiam tanpa bisa berkata apa-apa, “kita mengadakan tur di sini untuk mencari uang, apa jadinya kalau tak ada yang datang karena ulahmu ini? Tanyanya ketus sambil mengusap kepalanya yang botak dan licin
Seth tetap terdiam, aku sadar ia dalam masalah besar, jadi aku memutuskan untuk menolongnya, “kami baik-baik saja, Otto, kami tidak takut kok” “ya” Stephanie segera menambahkan “kami tidak percaya Seth hantu, ya kan Duane? Mana mungkin kami tertipu olehnya?”
“apalgi ketika kami melihat hantu yang sebenarnya” Setephanie bercerita
Otto mengarahkan senternya ke wajah Stephanie, “kalian lihat apa?”
“hantunya! Kami melihat hantunya!” Stephanie menerangkan “ya, kami melihat hantu yang asli, paman Otto, ia sangat menyeramkan!” Otto geleng-geleng kepala, “Sudahlah Seth, jangan bercanda, sekarang sudah larut, kau cuma ingin mengelak dari hukuman saja kan?”
“kami serius!” aku menimpali “Ya, kami benar-benar melihat hantunya” seru Stephanie “kami lihat si hantu Andrew, hantu tanpa kepala itu, paman Otto” Seth memohon untuk percaya
“Ya.. ya...” Otto bergumam keheranan sekaligus bingung, ia berbalik, memberi isyarat dengan senternya “Ayo! Kita keluar saja!”
32.
Setelah pengalaman kami yang menakutkan di Hill House, Stephanie dan aku berhenti bergentayangan di sekitar rumah. Rasanya sudah tidak seru, apalagi setelah kami bertemu hantu sungguhan, kami tidak lagi menyelinap keluar malam-malam, kami tak lagi memakai topeng-topeng seram dan muncul di jendela anak-anak tetangga, kami tak lagi bersembunyi di balik semak-semak, lalu melolong seperti manusia serigala di tengah malam.
Kami tidak mau lagi berurusan dengan hal-hal menakutkan, dan kami tak pernah lagi berbicara tentang hantu. Stephanie dan aku mencari hobi baru, aku ikut tim basket sekolah, Stephanie bergabung dalam klub drama, musim semi ini ia akan memerankan Dorothy dalam The Wizard of oz, entah Dorothy atau sepotong munchkin. Kami bersenang-senang selama musim dingin, saljunya tebal, dan tak satu kali pun kami menakut-nakuti orang.
Lalu suatu malam, kami pulang dari sebuah pesta ulang tahun, malam itu malam pertama berudara hangat di musim semi, bunga-bunga tulip bermekaran di pekarangan yang kami lewati, udara terasa segar dan berbau wangi. Aku berhenti di depan Hill House dan menatap rumah tua itu, Stephanie berhenti di sampingku, ia langsung tahu apa yang kupikirkan “kau mau ke sana kan, Duane?”
Aku mengangguk “bagaimana kalau kita ikut tur, kita tak pernah ikut lagi sejak...” aku tidak menyelesaikan kalimatku. “hei, kenapa tidak?” balas Stephanie, kami mendaki bukit yang terjal, rumput tinggi menggesek-gesek celana jeansku ketika aku menuju ke pintu depan. Ruamh tua yang besar itu tetap gelap dan seram, seperti biasanya
Ketika kami melangkah ke teras depan, pintu berderak dan membuka sendiri, seperti biasanya, kami masuk ke ruang depan, beberapa detik kemudian Otto muncul, ia berpakaian serba hitam, ia menatap kami sambil tersenyum ramah. “kalian!” serunya gembira “selamat datang” ia memanggil ke dalam “Edna, coba lihat siapa yang datang!” Edna keluar sambil tertatih-tatih “Oh!” serunya sambil menempelkan tangan ke wajahnya yang pucat dan penuh keriput “kami sudah takut kalian tak mau datang lagi kemari”
Aku memandang berkeliling, tak ada pengunjung lain, “kami mau ikut tur, kau bisa mengantar kami?” aku bertanya pada Otto. Ia tersenyum lebar, “tentu saja, tunggu, aku ambil lentera dulu” Otto membawa kami keliling Hill House, hampir semua ruangan kami masuki. Aku senang kembali ke sini, tapi rumah ini tak lagi menyimpan rahasia bagi kami. Seusai tur, kami berterima kasih kepada Otto dan Edna lalu mengucapkan selamat malam.
Kami sudah hampir sampai di kaki bukit ketika sebuah mobil polisi berhenti di tepi jalan, seorang petugas berseragam gelap menyembulkan kepalanya dar ijendela penumpang “kalian dari mana?” ia bertanya. Stephanie dan aku menghampiri mobil itu, kedua petugas yang duduk di dalamnya menatap kami dengan curiga.
“kami baru ikut tur” aku menjelaskan sambil menunjuk Hill House “Tur? Tur apa?” petugas itu bertanya dengan ketus. “itu lho, tur rumah hantu” balas Stephanie tak sabar. Kepala petugas polisi itu menyembul lebih jauh lagi dari jendela, ia bermata biru, mukanya penuh bintik-bintik.
“terus terang saja, apa yang kalian lakukan di sana?”
“kami kan sudah bilang, kami ikut tur, cuma itu” aku berkeras
Petugas polisi di balik kemudi tertawa terkekeh-kekeh “mungkin mereka diantar hantu” katanya pada rekannya, “di sana tidak ada tur, sudah beberapa bulan terakhir tak ada tur di rumah itu” kata petugas bermata biru, aku dan Stephanie berteriak kaget.
“rumah itu kosong” petugas itu melanjutkan “Usaha tur itu sudah ditutup, sepanjang musim dingin tak ada siapa-siapa di sana, Hill House bangkrut tiga bulan lalu”
“HAH?” Stephanie dan aku terbengong-bengong, kemudian kami berbalik dan menatap ke arah rumah di puncak bukit. Menara batunya yang kelabu menjulang ke langit yang ungu kehitaman, tak ada apa-apa selain kegelapan.
Kemudian kulihat cahaya redup di jendela depan, cahaya lentera, jingga dan lembut bagaikan asap. Dan dalam cahaya yang lembut itu, aku melihat Otto dan Edna, mereka melayang melewati jendela, tubuh mereka tembus pandang, seakan-akan terbuat dari kain kasa, ternyata mereka juga hantu, pikirku terus menatap cahaya yang lembut itu.
Aku berkedip dan cahaya itu pun padam.