Minggu, 12 Juni 2011

Goosebumps Horrors Novel : Headless Ghost PART1



Judul Asli : Headless Ghost
Judul indonesia : Misteri Hantu Tanpa Kepala
Pengarang : R.L Stine
Tahun Terbit (Amerika) : 1995
Tahun Terbit (Indonesia) : 1996
Penerbit (Amerika) : Scholastic Inc
Penerbit (Indonesia) : Gramedia Pustaka Utama




MISTERI HANTU TANPA KEPALA


SYNOPSIS
CEPAT TEMUKAN KEPALAKU ATAU KAU AKAN...

Semua orang tahu tentang Hill House, atraksi turis terbesar di Wheeler Falls, karena rumah itu berhantu. Hantu anak laki-laki berusia tiga belas tahun, hantu tanpa kepala.
Duane dan Stephanie sering ikut tur di Hill House, mereka tidak gentar meski rumah itu gelap, mengerikan dan sangat menyeramkan.
Namun demikian, mereka belum pernah melihat hantu di sana, sampai suatu malam ketika mereka memutuskan untuk melakukan pencarian...
Pencarian kepala si hantu anak laki-laki..

1.

Stephanie Alpert dan aku menghantui daerah di sekitar tempat tinggal kami. ide itu kami dapat waktu Halloween lalu.
Di daerah kami banyak anak kecil, dan kami paling senang menakut-nakuti mereka.
Kadang-kadang, dengan memakai topeng, kami menyelinap keluar malam-malam, lalu melongok ke jendela kamar anak-anak. Sering kali kami meletakkan tangan dan jari dari karet di ambang jendela mereka. tak jarang kami buka kotak surat dan menyelipkan barang-barang yang pasti bakal membuat mereka menjerit-jerit.
Stephanie dan aku juga sering bersembunyi di balik semak-semak, dan meneriakkan suara-suara aneh, raungan binatang atau erangan hantu. Stephanie paling jago melolong seperti manusia serigala. dan aku paling suka mendongakkan kepala lalu berteriak keras-keras. saking kerasnya, daun-daun di pepohonan sampai bergetar.
usaha kami tidak sia-sia, hampir semua anak di daerah kami jadi ngeri, setiap hari mereka mengintip dulu dari pintu rumah masing masing untuk memastikan keadaan aman, baru setelah itu mereka berani keluar. malam hari, sebagian anak tidak berani keluar sendirian.
bangga juga rasanya jadi makhluk yang ditakuti, pada siang hari kami cuma Stephanie Alpert dan Duane Comack, dua anak berumur dua belas tahun yang tidak berbeda dari anak-anak lain. tapi pada malam hari, kami menjelma menjadi si teror kembar dari wheeler falls.
tak ada yang tahu, tak seorang pun tahu identitas kami yang sebenarnya, kami berdua duduk di kelas enam di Wheeler Middle School, kami sama-sama bertubuh tinggi kurus. hanya saja stephanie beberapa senti lebih tinggi, sebab rambutnya lebih tebal.
banyak orang menyangka kami kakak adik, tapi sebenarnya tidak, kami sama-sama tidak punya kakak atau adik, meski sama sekali tidak membuat kami sedih
kami tinggal di jalan yang sama, rumah stephanie berhadapan dengan rumahku. kami biasa bertukar makan siang meski bekal kami sama yaitu roti selai kacang
kami anak-anak biasa, seratus persen normal, hanya saja kami punya hobi rahasia di malam hari, mau tahu bagaimana kami sampai jadi si teror kembar? ceritanya agak panjang...

*****

Semuanya berawal dari perayaan halloween yang lalu. udara malam itu sejuk, bintang-bintang bertaburan di langit. bulan purnama seperti melayang di atas pohon-pohon gundul. aku sedang berdiri di depan jendela kamar stephanie dengan kostum. malaikat maut-ku yang seram. aku berjinjit, berusaha mengintip kostum yang ia pakai.
“ hey, kau curang duane, jangan mengintip kostumku” seru stephanie di balik jendela yang tertutup, lalu ia menarik tirai.
"Aku ridak mengintip" kataku "Aku cuma meregangkan otot"
Sebenarnya aku memang sudah tak sabar ingin melihat kostum yang ia pakai kali ini. setiap halloween ia tampil dengan kostum yang keren sekali. tahun lalu seluruh tubuhnya dibalut kertas toilet hijau sampai menggembung seperti bola, benar, ia jadi selada raksasa. Tapi tahun ini rasanya aku mengalahkan dia, aku benar-benar bekerja keras untuk menyiapkan kostum malaikat maut-ku. aku pakai sepatu bersol tebal, cukup tebal untuk membuatku lebih tinggi dari stephanie. jubahku yang hitam dan bertudung begitu panjang sampai menyapu tanah. rambutku yang ikal kusembunyikan di balik lapisan karet, supaya kepalaku berkesan gundul. dan wajahku kupoles makeup, sehingga warnanya seperti roti bulukan.
Bahkan ayahku menolak menatapku. katanya ia takut perutnya mual, berarti kostumku sukses berat, aku sudah tak sabar untuk membuat stephanie memikik ketakutan, kuketuk-ketuk jendelanya dengan arit malaikat mautku, “Hei steph, cepatlah” aku berkata padanya “aku sudah mulai lapar, kita bisa tidak kebagian permen nanti”
Aku menunggu dan menuggu, aku berjalan mundar-mandir di pekarangan depan, jubahku yang panjan menyapu rumput dan daun-daun mati.
“Hey, lama sekali kau” aku berkata sekali lagi, ia belum muncul juga, sambil mendengus kesal aku berbalik ke jendelanya. dan tiba-tiba seekor binatang besar berbulu menerjangku dari belakang dan menggigit kepalaku.

2.

Ehm, sebenarnya sih, kepalaku tidak sampai digigit, makhluk itu hanya mencoba menggigit, ia mengeram-ngeram, berusaha menyambar leherku dengan gigi taringnya yang panjang.
Aku mundur terhuyung-huyung. Makhluk itu menyerupai kucing hitam raksasa, seluruh tubuhnya tertutup bulu hitam kasar, gumpalan-gumpalan lendir berwarna kuning melekat di telinga dan hidungnya yang hitam. Gigi taringnya yang panjang dan runcing berkilau-kilau dalam gelap.
Makhluk itu mengeram lagi dan mengayunkan cakarnya. “permen.. mana permenmu?”
“stephanie...?” ujarku terbata-bata. itu pasti stephanie, kan?
Sebagai jawaban, makhluk itu memukul perutku dengan cakarnya. saat itulah kulihat arloji mickey mouse kepunyaan stephanie di pergelangan tangannya. “Wow, stephanie, kostummu keren banget, kau benar-benar...” aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku, stephanie menyeretku, lalu merunduk di balik semak-semak.
lututku membentur trotoar, “Aduh” aku berteriak “apa-apaan sih? kau sudah gila?”
sekelompok anak kecil berkostum lewat di depan kami, stephanie melompat maju dan mencegat mereka “Arrrrrrgggghhhhh!” ia menggeram. Anak-anak itu benar-benar ketakutan, mereka langsung membalik dan kabur pontang-panting, saking ngerinya, tiga dari mereka sampai melepaskan kantong berisi permen yang telah mereka kumpulkan, stephanie langsung memungut kantong-kantong itu. “Hmmm... asyik”
“Wow, kau membuat mereka lari terbirit-birit” ujarku sambil memperhatikan anak-anak itu lari ke ujung jalan, “hebat”. Stephanie tertawam, tawanya konyol dan melengking, mirip suara ayam yang digelitik, aku selalu ikut tertawa kalau mendengarnya, “yeah, seru juga” sahutnya “Lebih seru dari mengumpulkan permen”
Jadi, malam itu kami habiskan dengan menakut-nakuti anak kecil, permen yang kami dapat tak seberapa, tapi kami benar-benar gembira, “coba kalau kita bisa begini setiap malam” ujarku ketika kami berjalan pulang.
“kenapa tidak bisa?” balas stephanie sambil nyengir. “Kita perlu tunggu halloween untuk menakut-nakuti anak kecil, Duane, tahu kan, apa yang kumaksud?” Ya, aku tahu.
Stephanie mendongakkan kepalanya, lalu tertawa seperti ayam, mau tak mau aku ikut tertawa, jadi, begitulah awal mula stephanie dan aku menghantui daeah kami, kalau malam sudah larut, si teror kembar beraksi di segala penjuru, pokoknya tak ada tempat yang aman.
Ehm.. tepatnya hampir tak ada tempat yang aman, ada satu tempat yang terlalu menakutkan, bahkan bagi stephanie dan aku, yaitu rumah tua di blok sebelah. orang-orang menyebutnya rumah tua di blok sebelah. Orang-orang menyebutnya Hill House, mungkin karena letaknya di atas bukit tinggi Hill Street.
Memang hampir di semua kota ada rumah hantu, tapi Hill House benar-benar ada hantunya, Stephanie dan aku tahu pasti, sebab di situlah kami ketemu hantu tanpa kepala.

3.

Hill House adalah atraksi wisata paling laku di Wheeler Falls, karena Hill House memang satu-satunya atraksi wisata di sini.
barangkali kau pernah dengar tentang Hill House, rumah itu sering disebut dalam banyak buku, Tur Hill House untuk para pengunjung diadakan setiap jam, dipandu oleh orang-orang berseragam hitam. Gerak-gerik mereka benar-benar seram, dan mereka selalu menceritakan kisah-kisah menakutkan tentang rumah itu. kadang-kadang aku sampai merinding kalau mendengar cerita-cerita mereka.
Stephanie dan aku paling senang ikut tur itu, apalagi kalau dipandu oleh Otto, Otto pemandu favorit kami, Otto bertubuh besar dan berkepala botak, tampangnya seolah bisa menembus tubuh kita, suaranya menggelegar, kadang-kadang kalau Otto mengantar kami dari satu ruang ke ruang lain, ia sengaja merendahkan suara. Saking pelannya, suaranya nyaris tak terdengar, lalu ia membelalakkan mata, mengacungkan tangan dan berteriak, “Itu hantunya! itu!”
Bukan cuma tampang Otto yang seram, senyumnya juga, entah sudah berapa kali stephanie dan aku ikut tur Hill House. Yang jelas, saking seringnya, kami sudah pantas jadi pemandu, kami tahu semua ruangan, semua tempat di mana orang pernah melihat hantu, hantu sungguhan!
kami betah sekali di tempat-tempat seperti itu, mau tahu kisah Hill House? Hmm.. beginilah ceritanya yang biasa dituturkan Otto, Edma, dan para pemandu lain.
***
Hill house sudah berumur dua ratus tahun, dan hantu sudah gentayangan sejak hari pertama orang-orang mengumpulkan batu untuk membangunnya, seorang kapten kapal yang masih muda membangun rumah ini untuk istri yang baru dinikahinya, tapi pada saat pembangunannya selesai, si kapten kapal harus bertugas di laut.
Istrinya tinggal seorang diri di rumah yang dingin dan gelap, dengan begitu banyak kamar dan lorong-lorong yang sepertinya tak berujung, berbulan-bulan ia memandang keluar dari jendela kamar dan lorong-lorong yang sepertinya tak berujung, berbulan-bulan ia memandang keluar dari jendela kamar tidur, jendela yang menghadap ke sungai, dengan sabar ia menanti kepulangan suaminya.
Musim deingin berlalu, disusul musim semi, lalu musim panas, tapi si kapten tak pernah kembali, ia hilang di laut, satu tahun setelah kapten kapal hilang, hantu si kapten kapal, ia kembali dari alam baka, kembali untuk mencari istrinya, setiap malam ia berkeliling membawa lentera dan memanggil-manggil nama istrinya, “Annabel! Annabel!!”
tapi Annabel tidak pernah menyahut, ia begitu sedih sehingga pergi dari rumah besar itu, ia tidak mau melihat rumah itu lagi, tahun demi tahun berlalu, dan banyak orang mendengar si hantu memanggil-manggil di malam hari, “Annabel! Annabel!” orang-orang bisa mendengar suara si hantu, tapi tak pernah ada yang melihatnya.
Kemudian, seratus tahun lalu, rumah itu dibeli oleh keluarga Craw, mereka punya anak laki-laki bernama Andrew yang berumur tiga belas tahun, Andrew nakal dan jahat, ia paling senang berbuat iseng terhadap pelayan, ia sering menakuti mereka, ia bahkan pernah melempar kucing dari jendela, dan ia kecewa karena kucing itu tidak mati, orang tua Andrew pun kewalahan menghadapi anak mereka yang brengsek. Karena itu Andrew lebih sering menghabiskan waktu sendirian, menyelidiki rumah tua mereka, atau mencari-cari masalah.
Suatu hari, ia menemukan sebuah ruangan yang belum pernah dimasukinya. Pintu kayu yang berat didorongnya sampai membuka, pintu itu berderit-derit, kemudian ia melangkah masuk, di atas meja kecil ada lentera yang menyala redup, selain itu kossng, tak ada benda apapun, juga tak ada yang duduk di meja.
“Aneh” pikir Andrew, “kenapa ada lentera menyala di ruangan yang kosong?” Andrew menghampiri lentera itu, ketika ia membungkuk untuk mematikannya, si hantu muncul, hantu si kapten kapal!
Hantu itu kini telah jadi makhluk tua yang mengerikan, kukunya yang panjang dan putih tumbuh melingkar-lingkar, gigi-gigi hitam yang retak menyembul dari balik bibir yang kering dan pecah-pecah, dan wajahnya setengah tertutup janggut yang kasar.
Andrew membelalakkan mata karena ngeri, “Siapa kau?” tanyanya sambil tergagap-gagap, Hantu itu tidak menyahut, ia malah melayang mendekati lingkaran cahaya lentera, menatap Andrew sambil mendelik, “Siapa kau? mau apa kau? kenapa kau ada di sini?” tanya Andrew.
hantu itu tetap membisu Andrew berbalik, berusaha kabur, tapi sebelum sempat ia menjauh, hembusan napas si hantu sudah terasa di tengkuknya, Andrew berusaha meraih pegangan pintu, tapi hantu tua itu melayang mengitari dirinya, berputar-putar bagaikan asap hitam di tengah cahaya kuning.
“jangan! berhenti!” Andrew menjerit. “lepaskan aku!” hantu itu membuka mulut, memperhatikan lubang hitam yang dalam, seolah tanpa dasar. Akhirnya ia angkat bicara, ia berbisik dengan suara menyerupai gemerisik daun-daun mati. “kau sudah melihatku, kau tidak bisa pergi”
“jangan” Andrew menjerit, “lepaskan aku!” hantu itu tidak menghiraukan teriakan-teriakan Andrew, ia mengulangi ucapannya dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri. “kau sudah melihatku, kau tidak bisa pergi” si hantu tua meraih kapala Andrew, jarinya yang sedingin es memegang wajah anak itu, lalu tangannya mengencang, mengencang, tahu apa yang terjadi setelah itu?

4.

Si hantu mencopot kepala Andrew dan menyembunyikannya di suatu tempat di Hill House! Setelah menyembunyikan kepala Andrew di rumah yang besar dan gelap, hantu si kapten kapal melolong panjang sehingga dinding-dinding batu yang tebal ikut bergetar, lolongan mengerikan itu berakhir dengan seruan, “Annabel! Annabel!”
Setelah itu si hantu tua itu lenyap untuk selamanya, tapi jangan disangka Hill House sudah bebas dari hantu yang bergentayangan di lorong-lorong panjang, sejak itu hantu Andrew yang berkeliaran di Hill House. Setiap malam hantu anak malang itu menyusuri lorong-lorong, keluar masuk ruangan untuk mencari kepalanya yang hilang.
Di seluruh rumah, kata Otto dan para pemandu lainnya, kita bisa mendengar langkah si hantu tanpa kepala, mencari, selalu mencari, dan sekarang setiap ruangan di Hill House punya kisah seram sendiri-sendiri, apakah cerita itu benar?
hmm... Stephanie dan aku sih percaya, karena itulah kami begitu sering ikut tur, rasanya sudah seratus kali kami menjelajahi rumah tua itu, Hill House memang mengasyikkan, paling tidak, semua begitu, sebelum Stephanie dapat ide gemilang lagi, Selain itu Hill House tidak lagi mengasyikkan, setelah itu, Hill House jadi tempat yang benar-benar menyeramkan.

5.

Semuanya bermula beberapa minggu lalu, waktu Stephanie tiba-tiba dilanda rasa bosan. Saat itu sekitar pukul sepuluh malam, kami sedang berkeliaran di luar rumah, kami melolong-lolong di depan jendela Geena Jeffers, lalu kami pergi ke rumah sebelah, rumah Terri Abel, kami masukkan beberapa potong tulang ayam ke kotak suratnya, soalnya semua orang pasti merinding kalau mereka meraih ke dalam kotak suratm dan ternyata meraba-raba tulang.
Lalu kami menyeberang jalan, menuju ke rumah Ben Fuller, rumah Ben rumah terakhir yang kami kunjungi malam itu, Ben teman sekelas kami, dan untuknya kami telah menyiapkan acara khusus, masalahnya begini, Ben paling takut pada serangga dan itu berarti ia paling gampang ditakut-takuti.
Ia selalu tidur dengan jendela terbukam biarpun udara di luar lumayan dingin, maka stephanie dan aku suka mengintip lewat jendelanya, dan menimpuk Ben yang sedang tidur dengan laba-laba karet, laba-laba karet itu menggelitik wajahnya, ia bangun dan langsung menjerit-jerit, setiap kali selalu begitu.
Ia menjerit-jerit, dan berusaha turun dari tempat tidur, tapi malam itu, waktu kami melempar laba-laba karet ke wajah Ben yang sedang bermimpi indah, Stephanie berpaling padaku dan berbisik “Aku ada ide bagus”, “apa?” aku bertanya, tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Ben sudah menjerit. kami mendengar ia berteriak-mekik dan jatuh ke lantai, BRUKKK...
Stephanie dan aku langsung ber-high five. setelah itu kami kabur, melintasi pekarangan-pekarangan belakang yang gelap, langkah kami berdebam-debam di tanah yang keras dan hampir beku, kami berhenti di samping pohon ek terbelah di pekarangan depan rumahku, batang pohon ek itu terbelah dua dari atas sampai bawah, tapi ayahku tidak tega menebangnya.
“Ide apa yang kau maksud?” aku bertanya pada Stephanie, napasku terengah-engah, matanya yang gelap tampak bebinar-binar, “begini, nih, setiap kali kita gentayangan di sini, anak-anak yang kita takut-takuti tetap anak-anak yang itu juga, lama-lama aku bosan” , sebenarnya aku belum bosan, tapi aku tahu kalau Stephanie sudah punya ide tak ada yang bisa menghentikannya. “jadi, kau mau cari anak-anak baru untuk ditakut-takuti?” tanyaku padanya.
“Bukan, bukan anak-anak baru, sesuatu yang baru” ia berjalan mengelilingi pohon, “kita butuh tantangan baru” , “Apa?” tanyaku , “selama ini kita selalu meggunakan trik-trik yang kekanak-kanakan” ia mengeluh “kita cuma membuat suara-suara aneh, lempar-lempar barang lewat jendela dan semua anak sudah ketakutan setengah mati. ini terlalu mudah” , “yeah” aku membenarkan “tapi lucu”
Komentarku tidak ditanggapinya, ia menyembulkan kepala lewat celah di batang pohon. “Duane, apa tempat yang paling seram di Wheeler Falls?” , itu pertanyaan mudah, “Apalagi kalau bukan Hill House” kataku
“benar, dan kenapa tempat itu begitu seram?” “karena cerita-cerita hantunya yang selalu mencari kepalanya”
“Yes!” Stephanie berseru, kepalanya menyembul lewat celah di batang pohon ek, seolah melayang, sementara tubuhnya tertutup batang pohon. “Si Hantu tanpa Kepala”, ia berkata dengan suara direndahkan, lalu tertawa tergelak-gelak, “apa-apaan ini? ujarku “kau mau menakut-nakuti aku sekarang?”
Kepalanya seakan-akan melayang dalam kegelapan, “kita harus gentayangan di Hill House” ia berbisik

6.

“hah?” aku berseru “apa maksudmu, Stephanie?” “kita ikut tur Hill House, lalu di tengah jalan kita memisahkan diri” Stephanie menyahut dengan tampang serius
Aku menggelengkan kepala “yang benar saja, untuk apa?” wajah Stephanie seperti bercahaya dalam gelap, “kita memisahkan diri untuk mencari kepala hantu itu” aku menatapnya sambil melongo “kau bercanda ya? Aku melangkah ke balik pohon dan menarik tubuhnya dari celah, kepalanya yang seperti melayang itu mulai membuatku merinding.
“tidak, duane, aku tidak bercanda” sahut Stephanie, lalu ia mendorongku ke belakang “kita perlu tantangan, kita perlu sesuatu yang baru, gentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti semua yang kita kenal, itu permainan anak-anak, dan aku sudah bosan”
“memangnya kau percaya cerita tentang kepala yang hilang itu? itu cuma cerita hantu, biar kita cari sampai botak, kepala itu tak bakal kita temukan, karena kepala itu memang tidak ada. itu kan cuma cerita yang sengaja dikarang untuk para turis”
Stephanie menatapku sambil memicingkan mata, “Sepertinya kau ngeri, Duane” “hah? aku?” suaraku agak melengking, tiba-tiba bulan menghilang di balik awan, dan pekarangan depan semakin gelap, aku merinding, aku langsung merapatkan jaket, “aku bukannya takut menjelajahi Hill House berdua saja, tapi menurutku kita cuma buang-buang waktu”
“duane kau gemetaran” dia mengejekku “gemetaran karena ngeri” “sembarangan” aku memprotes “Ayo, kita ke Hill House sekarang juga, nanti kita lihat siapa yang ngeri” Stephanie tersenyum lebar, ia mendongakkan kepala dan melolong panjang, melolong untuk merayakan kemenangannya. “ini baru tantangan yang pantas untuk si teror kembar” ia berseru, lalu mengajakku berhigh-five keras sekali, telapak tanganku sampai perih.
aku terpakasa mengikutinya ke Hill Street, sepanjang jalan aku tidak mengucapkan sepatah kata, apakah aku ngeri? sedikit mungkin. kami mendaki bukit yang terjal dan penuh alang-alang, lalu berhenti di tangga depan Hill House, malam-malam begini rumah tua itu kelihatan lebih besar, rumahnya berlantai tiga, dengan banyak menara, balkon, dan lusinan jendela yang semuanya gelap.
Semua rumah di daerah kami terbuat kari batu bata dan kayu. Hill House satu-satunya yang terbuat dari lempengan batu, lempengan batu warna abu-abu tua. Aku selalu menahan napas kalau berdiri di sana. dinding-dindingnya tertutup lapisan lumut yang tebal berwarna hijau, lumut berumur dua ratus tahun, baunya pasti bukan seperti kebun bunga.
Aku memandang ke atas, mengamati menara bulat yang menjulang ke langit malam, sebuah patung itu menatap kami sambil menyeringai, seakan-akan menantang kami untuk masuk. lututku mandadak lemas, rumah itu gelap gulita, hanya ada satu lilin di atas pintu depan, tapi tur wisatanya masih berlangsung, tur terakhr berangkat pukul setengah sebelas setiap malam, menurut para pemandu, tur malam hari paling seru, karena peluang untuk melihat hantu juga paling besar
Aku membaca prasasti yang ditempelkan di samping pintu.
SILAHKAN MASUK KE HILL HOUSE DAN HIDUP ANDA AKAN BERUBAH, UNTUK SELAMA-LAMANYA
prasasti itu sudah ratusan kali kubaca, dan setiap kali aku menganggapnya lucu walaupun agak norak, tapi malam itu aku malah merinding, malam itu semuanya berbeda,
“ayolah” ujar Sthephanie sambil menarik tanganku “kita masih sempat ikut tur terakhir” api lilin berkerlap-kerlip, pintu kayu yang berat di hadapan kami mendadak membuka, membuka sendiri, aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi pintu itu seolah membuka sendiri
“bagaimana nih? kau jadi ikut tidak? desak Stehanie, ia masuk ke rumah yang gelap, “oke, oke, aku ikut” kataku dengan berat hati.

7.

Otto sudah siap menyambut kami, setiap kali melihatnya, aku selalu teringat lumba-lumba, mungkin karena kepala gundulnya yang besar dan licin, mungkin juga karena potongan badannya memang seperti lumba-lumba raksasa, beratnya pasti sekitar lima puluh kilo.
Seperti biasa, Otto berpakaian serba hitam, kemeja hitam, celana hitam, kaus kaki hitam, sepatu hitam, dan sarung tangan tentu saja hitam. itulah seragam yang dipakai semua pemandu. “wah, coba lihat siapa yang datang!” ia berseru “Stephanie dan Duane!” ia nyengir lebar, matanya yang kecil tampak bersinar-sinar dalam cahaya lilin.
“Halo pemandu favorit!” Stephanie menyapanya “jam berapa tur berikutnya berangkat?” kami melewati loket tanpa membayar, saking seringnya kami berkunjung ke Hill House kami tidak pernah lagi disuruh beli karcis.
“kira-kira lima menit lagi” jawab Otto “tapi.. ehm.. rasanya baru kali ini kalian datang malam-malam begini” “yeah..” Stephanie berkata, lalu berpikir sejenak untuk mencari alasan yang masuk akal, “karena lebih seru kalau kita tur malam, benar kan Duane?” iya menyikut rusukku.
“Yeah, lebih seru” aku membenarkan, kami masuk ke ruang depan, bergabung dengan pengunjung lain yang sudah mengunggu, sebagian besar pasangan remaja sudah menunggu, sebagian besar pasangan remaja yang sedang kencan. ruangan depan Hill House lebih besar daripada gabungan ruang duduk dan ruang makan di rumahku, dan selain tangga melingkar di tengah-tengahnya, tidak ada apa-apa di ruangan itu, tidak ada perabot sama sekali.
bayang-bayang tampak bergerak-gerak di lantai, aku memandang berkeliling, tak ada lampu listrik, sebagai gantinya, pihak pengelola memasang obor-obor kecil pada dinding yang sudah retak-retak, dalam cahaya yang menari-nari aku menghitung orang-orang di sekelilingku, semua ada sembilan orang, cuma Stephanie dan aku yang masih anak-anak.
Otto menyalakan lentera dan maju ke bagian depan ruangan, ia mengangkat lenteranya dan maju ke bagian depan ruangan, ia mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, kemudian berdeham. Stephanie dan aku berpandangan sambil nyengir, otto selalu pakai cara yang sama untuk mengawali tur, menurutnya, lentera itu menambah seram suasana. “ladies and gentleman” ia berkata dengan suaranya yang menggelegar. “selamat datang di Hill House, kami berharap anda semua bisa menikmati tur ini, dan kembali dengan selamat” lalu ia tertawa, tawa menakutkan.
Stephanie dan aku mengikuti ucapan otto selanjutnya dengan menggerak-gerakkan bibir tanpa bersuara:
“Pada tahun 1795, seorang kapten kapal yang makmur bernama William P. Bell membangun rumah di atas bukti tertinggi di Wheeler Falls. Pada waktu itu rumahnya merupakan rumah paling mewah di daerah ini, berlantai tiga, dengan sembilan tempat perapianm dan lebih dari tiga puluh kamar, Kapten Bell tidak memperdulikan biaya, kenapa? karena ia bermaksud menikmati hari tuanya dalam kemewahan di sini, bersama istrinya yang muda dan cantik, namun sayangnya takdir berkata lain”
Otto tertawa terkekeh-kekeh, Stephanie dan aku tentu saja ikut tertawa, kami sudah hapal setiap bagian pidato otto, Otto kembali berbicara “Kapten bell gugur di laut ketika kapalnya karam, sebelum ia sempat tinggal di rumahnya yang indah, Istrinya yang masih muda, Annabel, meninggalkan rumah itu karena dilanda duka yang tak tertahankan”
kini Otto merendahkan suara “tapi tak lama setelah Annabel pergi, hal-hal aneh mulai terjadi di Hill House” inilah aba-aba otto untuk berjalan ke tangga melingkar yang terbuat dari kayu. tangga itu sempit dan sudah setua Hill House sendiri, setiap kali Otto naik, tangga itu berderak-derak dan mengerang-ngerang seperti kesakitan.
Tak seorang pun berbicara ketika kami mengikuti Otto ke lantai dua, Stephanie dan aku suka bagian ini, karena Otto juga diam saja, ia cuma bergegas menerobos kegelapan sambil membisu, sementara para peserta tur berusaha untuk tidak ketinggalan. Otto baru bicara lagi kalau sudah sampai di kamar tidur kapten Bell,  kamarnya besar, dilengkapi perapian, dan menghadap ke sungai.
“tak lama setelah Annabel meninggalkan Hill House” Otto menuturkan “Warga Wheeler Fells mulai melaporkan kejadian-kejadian aneh, banyak orang mengaku melihat laki-laki yang mirip almarhum kapten Bell, laki-laki itu selalu terlihat di sini, di jendela ini, dan ia selalu memegang lentera”
Otto menghampiri jendela dan mengangkat lenteranya “pada malam-malam tanpa angin, jika orang pasang telinga baik-baik, mereka kadang-kadang bisa mendengarnya memanggil-manggil dengan sedih”
Otto menarik napas dalam-dalam, lalu memanggil pelan-pelan: “Annabel. Annabel. Annabel..” Otto mengayunkan lentera untuk menambah seram suasana, para peserta tur tampak menatapnya tanpa berkedip. “Tapi tentu saja masih ada cerita lain” ia berbisik.

8.

Sementara kami mengikuti Otto keluar-masuk kamar-kamar di lantai dua, ia bercerita bagaimana arwah kapten Bell bergentayangan selama seratus tahun di Hill House. “orang-orang yang tinggal di sini sudah mencoba segala cara untuk mengusirnya, tapi hantu itu tetap tidak mau pergi” lalu Otto bercerita tentang Andrew, anak laki-laki yang menemukan hantu itu, dan akibatnya harus kehilangan kepala. “hantu si kapten lenyap, ia digantikan oleh hantu anak laki-laki tanpa kepala, tapi itu belum semuanya”
kini kami menyusuri lorong-lorong yang panjang dan gelap, cahaya obor-obor yang terpasang di dinding tampak berkerlap-kerlip. “Hill House masih diliputi tragedi” Otto melanjutkan, “tak lama setelah kematian Andrew Craw, adik perempuannya yang saat itu berusia dua belas tahun, jadi gila, mari kita ke kamarnya sekarang”
Ia menunjukkan jalan ke kamaar Hannah, untuk sampai ke sana, kami harus menyusuri lorong, Hannah punya koleksi boneka dari porselen, ia punya ratusan boneka, Semua rambut panjang kuning, pipi kemerahan, dan bola mata biru. “Setelah kakaknya tewas mengenaskan, Hannah jadi gila” Otto berkata dengan suara tertahan, “sepanjang hari, selama delapan puluh tahun, ia duduk di kursi goyang di pojok sana, Ia bermain dengan boneka-bonekanya, ia tak pernah pergi lagi meninggalkan kamarnya, tidak sekalipun”
Ia menunjuk kursi goyang yang sudah tua, “Hannah meninggal di kursi itu, seorang perempuan tua yang dikelilingi bonekanya” papan-papan berderit ketika Otto melintasi ruangan, ia menaruh lentera dan duduk di kursi goyang, kursi itu berderak-derak, aku selalu khawatir kursi itu bakal ambruk karena tak kuat menahan badan Otto yang berat, ia mulai berayun-ayun. Pelan-pelan, kursi itu terus berderak-derak, kami memeperhatikannya membisu.
“banyak sekali orang percaya bahwa Hanna yang malang masih di sini” bisik Otto “Mereka bilang mereka pernah melihat gadis cilik duduk di kursi ini sambil menyisir rambut boneka” ia terus berayun agar para peserta tur bisa meresapi ucapannya “dan sekarang kita sampai ke kisah ibu Hannah” Otto bangkit sambil mendengus, ia meraih lenteranya dan mengajak kami ke puncak tangga yang panjang dan gelap di ujung lorong
Tak lama setelah tragedi yang menimpa putranya, sang ibu pun mengalami nasib naas, pada suatu malam ia menuruni tangga ini, lalu terpeleset dan jatuh sampai tewas” Otto memandang ke kaki tangga, menggelengkan kepala dengan sedih. Hal itu ia lakukan setiap kali mengantar para peserta tur, seperti yang kukatakan tadi, Stephanie dan aku sudah hapal semua gerak-geriknya.
Tapi tujuan kami datang malam ini bukan untuk menonton Otto, aku tahu, cepat atau lambat Stephanie pasti akan melaksanakan rencananya. Jadi aku mulai memandang berkeliling, mencari-cari kesempatan untuk memisahkan diri dari rombongan, tiba-tiba aku melihat anak laki-laki itu, ia sedang memeperhatikan kami.
Aku tidak melihatnya waktu masuk tadi, dan aku yakin ia juga belum ada waktu tur dimulai, menurut hitunganku ada sembilan orang tadi, dan selain Stephanie dan aku, tak ada anak-anak. Anak tiu kira-kira sebaya kami, rambutnya pirang berombak, kulitnya pucat, pucat sekali. Celana jeans maupun kau turtlenecknya berwarna hitam, sehingga mukanya kelihatan lebih putih lagi. Aku menghampiri Stephanie, yang berjalan agak jauh di belakang rombongan. “Siap?” ia berbisik padaku. Otto sudah meulai menuruni tangga, kalau kami jadi memisahkan diri, sekaranglah waktunya.
Tapi anak laki-laki itu masih memperhatikan kami, matanya sempat mendelik, aku merinding, “tunggu dulu” bisikku pada Stephanie “ada yang memeperhatikan kita” “siapa?” “anak laki-laki di sebelah sana” aku melirik ke arah anak itu. Ia masih memperhatikan kami, ia bahkan tidak pura-pura menengok ke arah lain ketika kami menatap balas tatapannya.
Kenapa ia menatap kamiu seperti itu? apa yang ia mau? hati kecilku meyuruh kami menunggu, tapi Stephanie tidak mau tahu, “jangan pedulikan dia” katanya “anak itu tidak penting” ia meraih lenganku dan menarik keras-keras, “ayo” kami merapatkan punggung ke dinding lorong yang dingin, sementara pengunjung lain mengikuti Otto menuruni tangga.
Aku menahan napas sampai suara langkah di tangga tak terdengar lagi, kini kami sendirian, sendirian di lorong yang panjang dan gelap, aku berpaling pada Stephanie, saking gelapnya wajahnya nyaris tak kelihatan “Sekarang bagaimana?” tanyaku.

9.

“sekarang kita mulai menjelajahi sendiri” Stephanie menegaskan dengan penuh semangat, sambil menggosok-gosok tangan “ini baru asyik” aku memandang ke kiri-kanan, aku sama sekali tidak bersemangat, aku malah agak ngeri.
Dari salah satu ruangan di seberang lorong terdengar erangan tertahan, langit-langit di atas kepala kami derderak-derak, angin mengguncangkan jendela-jendela di ruangan yang baru saja kami tinggalkan. “Steph.. apa tidak lebih baik kalau kita...?” tapi ia sudah bergegas ke ujung lorong sambil berjinjit, supaya lantainya tidak berbunyi “ayo Duane, kita cari kepala si hantu” bisiknya padaku.
Rambutnya yang gelap berkibar-kibar, “Siapa tahu? barangkali saja kita bisa menemukannuya” “Huh, yang benar saja” sahutku sambil menggeleng-geleng kepala. sejujurnya, aku tetap beranggapan kami cuma buang-buang waktu, bayangkan, bagaimana caranya mencari kepala berumur seratus tahun? dan apa yang harus kita lakukan kalau kita memang berhasil menemukannya? hii. seperti apa bentuknya? jangan-jangan tinggal tengkorak.
Aku mengikuti Stephanie menyusuri lorong, tapi kalau boleh pilih, sebenarnya aku lebih suka berada di tempat lain. Aku lebih suka bergentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti orang lain, aku tidak suka menakut-nakuti diriku sendiri.
Stephanie masuk ke kamar tidur lain, para pemandu menyebutnya kamar hijau, karena banyak wallpaper di dinding bermotif tanaman rambat berwarna hijau, motif tanaman itu menutupi seluruh dinding juga seluruh langit-langit. bagaimana orang bisa tidur di sini? aku bertanya-tanya, rasanya seperti terjebak di hutan lebat.
kami menyebutnya kamar gatal-gatal, Otto pernah bercerita bahwa enam puluh tahun lalu sempat terjadi suatu yang mengerikan di kamar ini. Dua tamu yang menginap di sini terbangun dengan ruam-ruam ungu di kulit mereka, ruam itu bermula di lengan dan jari, lau menyebar ke wajah dan akhirnya menutupi seluruh tubuh, tubuh mereka penuh bintik-bintik ungu yang gatalnya minta ampun.
Dokter-dokter dari seluruh dunia dipanggil untuk memepelajari ruam itu, tapi tak ada yang tahu apa penyebabnya, lebih parah lagi, tak seorang pun bisa mengobatinya. Mereka hanya bisa menduga ada sesuatu di kamar hijau, yang menyebabkan bintik-bintik ungu itu, namun teka-teki itu tak pernah terpecahkan. Begitulah kisah yang biasa diceritakan Otto dan pemandu lain, bisa jadi cerita itu benar bisa jadi semua cerita Otto yang aneh dan menakutkan itu memang benar, siapa yang tahu?
“Ayo dong Duane!” desak Stephanie “kita harus mulai mencari kepala itu, kita tidak punya waktu banyak, sebentar lagi Otto akan sadar kita hilang” ia melintasi ruangan dan mengintip ke kolong tempat tidur. “Steph, jangan!” ujarku, dengan hati-hati aku melangkahi meja rias pendek di pojok ruangan. “Sudahlah” aku memohon “kepala hantu itu tak mungkin ada di sini, kita keluar saja”
Ia tak bisa mendengarku, karena ia sudah menyusup ke kolong tempat tidur, “Steph...?” beberapa detik kemudian ia keluar lagi, mukanya kelihatan merah ketika ia berpaling padaku, “Duane!” serunya padaku “Aku...Aku...”
matanya terbelalak, mulutnya menganga lebar, ia memegang kedua pipinya,”ada apa? ada apa?” aku memiki, tergopoh-gopoh aku mengjampirinya. “Ohhhh, gatalnya! gatalnya minta ampun!” stephanie meratap-ratap, aku hendak menyahut, tapi suaraku seakan-akan tersangkut di tenggorokan.
Stephanie mulai menggosok-gosok wajah, dengan panik ia mengusap-usap pipi, kening, dan dagunya “Aduuhhhh, gatalnya! gatal sekali!” sekarang ia mulai menggaruk-garuk kepala dengan dua tangan, aku meraih lengannya, dan berusaha mengangkatnya dari lantai, “Kau kena ruam! ayo kita pulang” seruku “cepat! orang tuamu bisa panggil dokter! dan.. dan.. “
Aku tercengan ketika melihatnya tertawa, aku melepaskan tangannya, melangkah mundur, ia berdiri, lalu merapikan rambutnya, “ya ampun, Duane” gumamnya “mudah sekali kau ditipu malam ini” “siapa yang tertipu?” sahutku gusar “Aku cuma mengira...” ia mendorongku “kau terlalu gampang takut, kok bisa sih kau tertipu oleh tipuan konyol seperti ini?” aku balas mendorongnya “pokoknya jangan bercanda lagi, oke?” aku mengeram “aku serius, Stephanie, ini tidak lucu, aku tak bakal tertipu lagi, jadi jangan coba-coba!”
ia tidak mendengarkanku, pandangannya terarah ke belakang, dan saking kagetnya, ia sampai terbengong-bengong. “Oh.. astaga!” pekiknya “itu kepalanya!”

10.

lagi-lagi aku tertipu, aku tidak berdaya, mau tidak mau aku menjerit, aku membalik begitu cepat sehingga aku nyaris kehilangan keseimbangan dan terjatuh, Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Stephanie, ternyata yang ditunjukkannya cuma gumpalan debu kelabu. “Kena lagi! kena lagi!” ia menepuk punggungku, mulai tertawa cekikikan.
Aku menggeram kesal sambil mengepalkan tangan, tapi aku tidak berkata sepatah pun, wajahku panas seperti terbakar, dan pasti merah karena malu, “kau penakut Duane” Stephanie kembali mengejekku “Akui saja!” “sudahlah kita cari Otto saja” aku menggerutu “jangan Duane! ini lebih seru, ayo kita coba ke kamar sebelah” ketika melihat aku tidak membuntutinya, ia berkata, “Aku tidak akan menakut-nakutimu lagi, aku janji” dalam hati aku ragu, tapi aku mengikutinya juga, apa yang bisa kulakukan, tak ada pilihan.
Kami melewati lorong sempit yang menuju ke kamar sebelah, kamar itu ternyata kamar Andrew, Andrew yang malang, yang mati tanpa kepala. Semua barangnya masih ada, berbagai macam mainan yang sudah berumur seratus tahun, sepeda tua yang terbuat dari kayu tampak bersandar pada dinding. Semuanya pasti masih seperti dulu, seperti sebekum Andrew bertemu dengan hantu Kapten kapal.
Lenteranya di atas meja rias menimbulkan bayang-bayang biru di dinding, aku tidak tahu apakah segala cerita hantu yang pernah kudenga memanf pernah terjadi atau tidak. tapi aku punya firasat bahwa kepala Andrew memang ada, maka kami akan menemukannya di sini, di kamarnya. Mungkin di bawah tempat tidur berkanopi yang kuno, atau tersembunyi di antara mainan-mainannya yang terselubung debu.
Sambil mengendap-ngendap, Stephanie menghampiri mainan-mainan itu, ia membungkuk, dan mulai menggeser beberapa barang, pin-pin boling berukuran mini dari kayu, papan permainan yang warna-warnanya sudah memudar, satu set tentara mainan terbuat dari logam. “Cepat periksa tempat tidur, Duane!” bisiknya.
Dengan berat hati aku mlintasi ruangan, “Steph, sebenarnya barang-barang ini tidak boleh dipegang, para pemandu selalu melarang kita memegang apapun di sini” Stephanie memindahkan sebuah gasing tua “kau menemukan kepala itu atau tidak?” “kau benar-benar yakin ada kepala yang disembuntikan di sini?” “Duane, kau bagaimana? justru itu yang harus kita selidiki, ya kan?” aku menghela napas dan menghampiri tempat tidur, percuma saja berdebat dengan Stephanie, semangatnya sedang berkobar-kobar, ia tidak bisa diajak kompromi.
 Aku mulai mengamati tempat tidur, dulu pernah ada anak laki-laki yang berbaring di sini, kataku dalam hati. Andrew pernah tidur di bawah selimut ini seratus tahun lalu, pikiranku membuatku merinding, aku mencoba membayangkan anak laki-laki seumuranku tidur dari seberang ruangan. Aku membungkuk, menepuk selimut yang bermotif kotak-kotak kelabu dan cokelat itu, selimutnya terasa dingin dan licin.
Aku meraba bantal-bantal, semuanya tearasa empuk, tak ada yang disembunyikan di situ, Aku hendak memeriksa kasur ketika selimutnya mulai bergerak, pelan-pelan, diiringi bunyi gemerisik yang nyaris tak terdengar. Aku membelalakkan mata karena ngeri, selimut itu bergeser, seperti ditarik, tapi tak ada siapa-siapa di tempat tidur, Selimut itu bergerak sendiri.





11.

Aku harus menahan diri untuk tidak berteriak, “Cepat sedikit dong, Duane!” ujar Stephanie, aku menoleh dan melihatnya berdiri di ujung tempat tidur. Kedua tangannya memegang pinggiran selimut, “waktu kita tidak banyak!” ia menegaskan, lalu kembali menarik selimut. “tidak ad apa-apa di tempat tidur. oke, berarti nanti kita harus cari di tempat lain”
Aku mendesah tertahan, ternyata Stephanie yang menarik selimut dan membuatku merinding, tak ada hantu di tempat tidur tua itu, tak ada hantu yang menyingkap selimut untuk menyergapku. Cuma Stephanie, untung saja dia tidak sempat melihat betapa kagetnya aku, bersama-sama kami merapikan selimut, ia tersenyum padaku, “Asyik huh?” ujarnya. “yeah” aku membenarkan, aku berharap ia tidak sadar bahwa aku masih gemetaran, “jauh lebih seru daripada melempar laba-laba ke jendela Ben Fuller”
“Aku senang jalan-jalan di sini malam hari, apalagi kalau tidak ikut rombongan, seperti sekarang, aku bisa merasakan kehadiran hantu di sekitar sini” Stephanie berbisik. “benarkah?” aku tergagap-gagap sambil memandang berkeliling.
Itu dia, di lantai, terselip diantara pintu dan dinding, setengah tersembunyi dalam bayang-bayang, kepala Andrew, kali ini aku benar-benar melihat kepalanya, kali ini bukan tipuan iseng, Aku benar-benar melihat tengkorak yang bulat. Lubang matanya yang kosong dan gelap, dua lubang gelap menatapku, mengawasiku, Aku meraih lengan Stephanie, dan menunjuk, tapi dia juga sudah melihatnya.

12.

Aku yang pertama mampu bergerak, aku maju selangkah lagi, aku mendengar bunyi napas, di belakangku, dekat sekali. Baru berapa detik kemudian, aku sadar, yang kudengaradalah bunyi napas Stephanie. Aku melangkah ke pojok yang gelap tanpa melepaskan pandangan dari kepala itu, jantungku mulai berdegup-degup ketika aku membungkuk dan meraih dengan kedua tangan.
Lubang-lubang matanya yang hitam terus menatapku, mata yang bulat dan sedih, tanganku gemetaran, pelan-pelan aku memungutnya, tapi kepala itu terlepas dari tanganku, dan menggelinding, Stephanie berteriak kaget ketika kepala itu menggelinding ke arahnya.
Dalam cahaya lentera yang kemerahan, aku melihat tampangnya yang ketakutan, aku melihat ia berdiri kaku seperti patung, kepala itu menggelinding di lantai, membentur sepatunya, lalu berhenti beberapa senti dari kakinya. Lubang-lubang mata yang hitam menatapnya, “Duane..” ia memanggilku sambil memandang ke bawah dengan tangan menempel di pipi, “tak kusangka, tak kusangka kita akan menemukannya, aku... aku...”
Aku bergegas melintasi ruangan, sekarang giliranku untuk tampil berani, kataku dalam hati, sekarang giliranku untuk membuktikan aku bukan penakut, yang merasa ngeri pada setiap bayangan, sekarang giliranku.Kupungtu kepala si hantu dengan dua tangan, kuangkat di depan hidung Stephanie, lalu kubawa ke arah lentera di meja rias.
Kepala itu terasa keras, dan lebih licin dari yang kuduga, lubang-lubang matanya dalam sekali, Stephanie tak beranjak dari sisiku, bersama-sama kami menghampiri cahaya lentera yang kemerahan. Aku mengerang ketika sadar yang kupegang bukan kepala hantu, Stephanie juga mengerang ketika melihat yang ada di tanganku.

13.

Sebuah bola boling, yang kupegang ternyata sebuah bola boling yang sudah retak-retak, “Ya ampun” gumam Stephanie sambil menepuk keningnya, pandanganku beralih ke pin-pin boling yang tergeletak di antara mainan-mainan Andrew “ini pasti bola untuk pin-pin kayu itu” ujarku pelan
Stephanie mengambil bola itu dari tanganku dan mengamatinya dari segala arah “tapi lubangnya cuma dua” aku mengangguk “Yeah, zaman dulu lubang bola boling memang cuma dua, Ayahku pernah cerita waktu kami pergi main boling, ia juga heran di mana orang zaman dahulu menaruh jempol mereka”
Stephanie memasukkan jari ke dalam kedua lubang, kedua “lubang mata” ia menggelengkan kepala, tampak jelas ia kecewa sekali. Suara Otto terdengar menggelegar di bawah, Stephanie menghela napas “Mungkin lebih baik kita turun saja, dan bergabung lagi dengan yang lain” ujarnya sambil menggelindingkan bola boling ke tumpukan mainan.
“Jangan” aku berseru aku belum puas menikmati peranku sebagai si pemberani di antara kami berdua “sekarang sudah larut malam” kata Stephanie “dan kita akan menemukan kepala hantu di atas sini” “ya, karena semua ruangan ini sudah seratus kali kita jelajah” sahutku
“Seharusnya kita cari di tempat yang belum kita datangi” Stephanie mengerutkan keningnya. “Duane.. apa maksudmu?”
“kurasa kepala hantu itu ada di ruangan yang tidak dilewati tur, mungkin di atas, di lantai tiga” Stephanie membelalakkan mata “jadi, kau mau naik ke lantai tiga?” aku mengangguk “Kenapa tidak? kemungkinan besar semua hantunya kumpul di situ, ya kan?”
Ia mengamatiku dengan seksama, aku tahu dia kaget karena aku punya usul nekat seperti itu. tapi sebenarnya aku cuma berlagak berani, sebenarnya aku berharap ia akan bilang “Jangan Duane, kita turun saja” tapi ternyata ia malah nyengir lebar “oke kita ke atas”

14.

terserah kau  saja, aku terus berpura-pura, semoga tidak sepanjang malam, keberanian si teror kembar menghadapi ujian berat ketika kami menaiki tangga gelap yang menuju ke lantai tiga, tangga kayu itu berderak-derak setiap kali kami melangkah.
Di samping tangga sebanarnya ada tanda bertulisan: PENGUNJUNG DILARANG NAIK.
tapi kami tidak peduli, suara Otto tak terdengar lagi, yang terdengar cuma tangga yang berderit dan berderak di bawah kaki kami, ditambah bunyi jantungku yang berdegup-degup, udara teras panas dan lembap ketika kami sampai di puncak tangga, aku memicingkan mata, memandang ke lorong yang panjang dan gelap, tak ada lentera menyala, tak ada cahaya obor.
Satu-satunya sumber cahaya adalah jendela di ujung lorong, cahaya pucat yang masuk lewat jendela membuat segala sesuatu tampak kebiru-biruan, suasananya seram sekali. “kita mulai dari kamar pertama” Stephanie mengusulkan sambil berbalik, ia menepis rambut yang menggelantung di depan matanya. Udara terasa panas sekali di atas sini, saking panasnya, keningku sampai basah karena keringat, aku menyekanya dengan lengan jaket, dan mengikuti Stephanie ke kamar pertama di sebelah kanan.
Pintu kayunya yang berat setengah terbuka, kami menyelinap masuk, cahaya biru pucat menyorot melalui jendela-jendela yang berlapis debu. Aku menunggu sampai mataku terbiasa dengan suasana yang remang-remang, kemudian aku memandang ke sekeliling ruangan besar itu. Ruanagan itu kosong, kosong sama sekali. tak ada tanda-tanda kehidupan, atau hantu. “Steph, lihat itu!” aku menunjuk pintu kecil di dinding seberang “Ayo kita periksa!”
Kami mengendap-ngendap melintasi lantai kayu, melalui jendela yang berdebu kulihat bulan purnama di luar, tinggi di atas pohon-pohon yang gundul. Pintu kecil itu ternyata menuju ke ruangan lain, yang lebih kecil dan lebih panas lagi, di satu dinding ada alat pemanas, dua sofa model kuno berhadapan di tengah ruangan, selain itu tak ada perabotan apa pun.
“ayo jalan lagi!” Stephanie berbisik, pintu kecil di ruangan yang panas itu juga menuju ke ruangan lain lagi “semua kamar di atas sini saling berhubungan” aku bergumam, lalu aku bersin, dan bersin lagi.  “ssst... jangan ribut Duane!” Stephanie menegurku “hantunya bakal kabur kalau berisik terus”
“habis bagaimana lagi?” aku memprotes “hidungku paling tidak tahan kalau kena debu” kami berada di semacam ruang jahit, di meja di depan jendela tampak mesin jahit kuno, kardus di samping kakiku penuh gulungan benang hitam. Aku membungkuk dan memeriksa kardus, tak ada kepala yang tersembunyi di sana. Kami melangkah ke raung berikut, dan tahu-tahu kami sudah diselubungi kegelapan pekat.
jendela ruangan itu tertutup papan-papan kayu, hanya ada sedikit cahaya yang menerobos lewat celah. “aku tidak bisa melihat apa-apa” kata Stephanie, aku merasakan tangannya meraih lenganku, “di sini terlalu gelap, ayo Duane, kita keluar saja!”
Aku hendak menyahut tapi bunyi brukkk yang keras membuatku terdiam, Stephanie meremas tanganku, “Duane, suara apa itu?” bunyi brukk itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat “Aku tidak tahy” jawabku tergagap-gagap “kita tidak sendirian di sini” bisik Stephanie aku menarik napas dalam-dalam “Siapa itu?” aku memanggil “Siapa yang ada di sini?”

15.

“siapa itu?” kataku dengan suara parau, Stephanie meremas-remas tanganku sampai terasa sakit, tapi aku tidak bergerak, tidak berusaha menjauh darinya. Kudengar suara langkah, langkah-langkah ringan, aku merinding, tengkukku terasa kaku, aku terpaksa mengunci rahang supaya gigiku tidak bergemeletuk.
dan kemudian dalam kegelapan kulihat mata berwarna kuning mendekati kami, Empat mata berwarna kuning makhluk itu bermata empat! aku mengerang tertahan, aku tak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Aku memandang lurus ke depan, dan pasang telinga, berkedip pun aku tak sanggup, keempat mata itu berpencar berpasangan, dua ke kanan, dua ke kiri.
“Ohhh” aku berteriak kaget ketika semakin banyak mata bermunculan, mata-mata berwarna kuning tampak di semua sudut, di sepanjang dinding, dan semua berkilat-kilat menatap kami. Ke mana pun aku menoleh, yang tampak hanyalah mata berwarna kuning. puluhan mata kuning mirip mata kucing menatap Stephanie dan aku, sementara kami saling mendesak di tengah ruangan.
Mata kuning mirip mata kucing.
Mata Kucing!!
ruangan itu penuh kucing, aku tahu karena salah satu kucing tiba-tiba merintihm dan suara meooonngg dari ambang jendela akhirnya membuat Stephanie dan aku menarik napas lega. Seekor kucing menempelkan badannya ke kakiku, Aku kaget setengah mati, melompat ke samping, dan menabrak Stephanie, ia langsung mendorongku.
kucing-kucing itu mulai mengaung-ngaung, satu lagi menyerempet betisku, “Aku rasa kucing-kucing ini kesepian” Stephanie tergagap-gagap “jangn-jangan tak pernah ada orang yang naik ke sini” “masa bodoh” balasku dengan ketus “waktu pertama melihat mata mereka yang kuning, kupikir... kupikir... entah apa yang aku pikir, tempat ini terlalu seram, ayo , kita keluar saja!” sekali ini Stephanie tidak membantah
Ia menuju pintu di bagian belakang ruangan, kucing-kucing di sekeliling kami seolah-olah ingin membentuk paduan suaram terus mengaung bersahutan. satu kucing lagi menyerempet kakiku, kaki Stephanie tersandung seekor kucing, ia jatuh dalam kegelapan, lututnya berdebam memberntur lantai. Suara kucing itu bertambah keras.
“kau tidak apa-apa?” tanyaku, aku langsung menghampirinyauntuk membantunya berdiri, tapi saking berisiknya kucing-kucing di sekitar kami, aku tak dapat mendengar jawaban Stephanie. kami berlari ke pintu, membukanya, dan menyelinap keluar. Cepat-cepat aku menutup pintu, seketika suasana kembali hening, “di mana kita?” bisikku “Aku tidak tahu” Stephanie terbata-bata, ia tidak berani menjauhi dinding, aku berjalan ke jendela yang tinggi dan sempit, lalu memandang keluar lewat kaca yang penuh debu. jendela itu ternyata mengahdap ke sebuah balkon yang menjorok dari atap bergenteng kelabu.
Cahaya bulan yang putih pucat masuk melalui jendelam aku berpaling pada Stephanie, “kita ada di semacam lorong belakang” aku menebak, lorong yang panjang dan sempit itu seakan-akan tak berujung, “kamar-kamar di sini mungkin dipakai oleh para karyawan, oleh Manny, si penjaga malam, para petuga kebersihan, dan para pemandu”
Stephanie menghela napas, ia memandang ke lorong yang panjang “kita turun saja, cari Otto dan pengunjung lain, rasanya penjelajahan kita sudah cukup malam ini” aku sependapat, “di ujung lorong pasti ada tangga, ayo, kita ke sana!”
Aku berjalan empat atau lima langkah, tiba-tiba kurasakan sentuhan tangan-tangan halus, tangan-tangan itu mengusap wajahku, tengkukku, tubuhku. Sekujur tubuhku dibelai-belai oleh tangan-tangan yang tak kelihatan, tangan-tangan itu seakan-akan mencengkeram dirikku. “Ohh, Tolong!” Stephanie mengerang, rupanya ia juga sudah dalam cengkeraman tangan-tangan hantu.

16.

Tangan-tangan hantu itu menggerayang diriku, jari-jemari yang kering kerontang dan ringan seperti udara sudah mencengkeram diriku. Stephanie mengayun-ayun tangan dengan panik. ia berusaha keras untuk membebaskan diri, “ini seperti jaring” serunya kalang kabut. Aku mengusap wajahku, rambutku, Aku mencoba berbalik, tapi jari-jemari itu tetap maelekat, malah semakin ketat.
Kemudian aku sadar aku bukan dalam cengkeraman tangan-tangan hantu, sementara aku mengayunkan tangan kian kemarim aku mendadak sadar bahwa kami terperangkap sarang laba-laba. Sarang laba-laba yang menyerupai tirai tebal, jalinan benang-benang itu menyelubungi kami bagaikan jaring nelayan, semakin keras kami meronta, semakin kencang pula cengkeramannya.
“Stephanie... ini sarang laba-laba” aku berseru, lalu melepaskan gumpalan benang yang melekat di wajahku. “Tentu saja laba-laba” sahutnya sambil mengayun-ayunkan tangan, “memangnya kau pikir apa?”
“ehm.. hantu” aku bergumam, Stephanie tertawa mengejek “Aduh Duane, kau terlalu banyak berkhayal, tapi kalau kau begini terus, kita tak bakal keluar dari sini”
“aku.. aku... aku..” aku tidak tahu harus berkata apa, Aku yakin pikiran Stephanie sebenarnya sama dengan pikiranku, ia juga menyangka kami ditangkap hantu, tapi sekarang ia berlagak sok tahu, seakan sejak awal ia sudah tahu bahwa itu cuma sarang lab-laba.
kami berdiri dalam kegelapan sambil berusaha melepaskan benang-benang lengket itu dari wajah, tagan, dan tubuh, aku menggerutu dengan kesal, benang-benang itu tidak mau lepas dari rambutku, “aku bakal gatal-gatal sampai tua” seruku, “ini sih belum seberapa” Sthepanie bergumam “ada yang lebih parah lagi” aku menarik potongan sarang lab-laba yang melekat di telingaku, “Hah?”
“coba tebak siapa yang bikin sarang ini” aku tidak perlu berpikir panjang “laba-laba” lengan dan kakiku mulai gatal, begitu juga punggungku dan tengkukku, jangan-jangan ada laba-laba yang merayap naik-turun di tubuhku, beratus-ratus laba-laba. Aku langsung lari, Stephanie langsung melakukan hal yang sama, kami berlari menyusuri lorong yang panjang, sambil terus menggaruk-garuk dan menepuk-nepuk
“Steph, lain kali kalau kau punya ide bagus, lebih baik simpan saja” aku memperingatkannya, “sudahlah, yang penting kita harus menemukan jalan keluar dari sini” ujarnya, kami sampai di ujung lorong, tapi tak ada tangga di sana, jadi bagaimana caranya turun lagi? Ternyata ada lorong lain yang membelok ke kiri, cahaya redup lilin di atas pintu-pintu tampak menari-nari, bayang-bayang melintas di karpet bagaikan bintang-bintang yang menggeliat
“ayo” aku menarik Stephanie, kami tidak punya pilihan, kami harus menyusuri lorong itu, kami lari berdampingan, semua kamar yang kami lewati gelap dan sunyi. Api lilin-lilin bergetar ketika kami berlari, bayangan Stephanie dan aku bergerak mendului, seakan-akan ingin lebih cepat sampai ke bawah.
“Apalagi sekarang?” gumam Stephanie sambil terengah-engah, matanya yang gelap langsung melebar, kami pasang telinga, aku mendengar suara-suara, suara-suara yang berasal dari ruangan di ujung lorong. Pintunya tertutup, kudengar seorang laki-laki mengatakan sesuatu, entah apa aku tak bisa dengar, seorang wanita tertawa, beberapa orang lain ikut tertawa, “Itu pasti rombongan kita” aku berbisik, Stephanie mengerutkan kening “tidak mungkin” ia membantah, “rombongan tur tak pernah dibawa sampai ke lantai paling atas”
Kami hampir menghampiri pintu dan kembali pasang telinga, sekali lagi kami mendengar suara tawa, sepertinya banyak orang sedang bersenda-gurau dan berbicara berbarengan, sepertinya ada pesta. Aku menempelkan telinga de daun pintu “kurasa turnya baru selesaim dan sekarang anggota rombongan asyik mengobrol” aku berbisik kepada Stephanie. ia menggaruk kepala, menarik segumpal benang lengket yang masih menempel di rambutnya. “Ayo dong, Duane, cepat, buka pintunya, biar kita bisa bergabung lagi dengan mereka” ia mendesak. “moga-moga Otto tidak tanya ke mana saja kita pergi tadi” ujarku. Aku meraih pegangan pintu dan membukanya, Stephanie dan aku melangkah masuk, dan seketikan kami membelalakkan mata.

17.

Ruangan itu ternyata kosong, kosong melompong, sunyi dan gelap, “hei, ada apa ini? ke mana mereka?” seru Stephanie. Kami maju selangkah, lantai kayu di bawah kaki kami berderak-derak, itu satu-satunya suara yang terdengar, “aku tidak mengerti” bisik Stephanie “kita baru saja mendengar suara-suara di sini” “ya” ujarku “ada orang yang tertawa dan mengobrol, kedengarannya seperti ada pesta” “pesta yang meriah” Stephanie menambahkan sambil memandang-mandang berkeliling “yang dihadiri banyak orang” tiba-tiba punggungku serasa disiram air es “barangkali yang kita dengar bukan orang” aku berbisik.
“bukan suara orang” aku berkata parau “tapi suara hantu” Stephanie langsung melongo “dan langsung hilang waktu kita membuka pintu?” aku mengangguk “rasanya mereka masih ada di sini, ih, aku jadi merinding” Stephanie berteriak tertahan, “apa maksudmu?” tiba-tiba aku langsung merasakan embusan angin dingin menerpa, membuatku gemetaran, rupanya Stephanie juga merasakannya.
Ia langsung menyilangkan tangan di depan dada “brr...! kau juga merasa ada angin? apa jendela yang terbuka? kenapa tiba-tiba jadi dingin begini? tanyanya. lalu ia berbisik “jangan-jangan kita tidak sendirian di sini?” “sepertinya memang begitu” aku menyahut pelan “jangan-jangan pesta itu bubar gara-gara kita” Stephanie dan aku berdiri seperti patung di tengah ruangan.
Aku tidak berani bergerak, siapa tahu semua hantu yang kami dengar tadi sekarang mengelilingi kami, memandang kami, bersiap-siap untuk memberi pelajaran pada kami. “Stephanie” bisikku “bagaimana kalau pesta mereka benar-benar bubar karena kita? bagaimana kalau ruangan ini ternyata memang tempat para hantu?” Stephanie menelan ludah, tidak menyahut, bukankah Andrew kehilangan kepalanya waktu masuk ke tempat si hantu? dan bagaimana kalau sekarang kami berada di tempat yang sama? kamar tempat Andrew beremu denagan arwah si hantu kapten?
“Stephanie, kurasa lebih baik kita keluar dari sini” ujarku pelan “sekarang juga” rasanya aku mau kabur saja, aku ingin berlari menuruni tangga, kabut dari Hill House, berlari kerumahku yang hangat, aman dan bebas dari hantu, bebas dari hantu, kami berbalik dan berlari ke pintu.
Apakah hantu-hantu itu akan berusaha mencegah kami? ternyata tidak, kami berhasil keluar, ke lorong yang diterangi cahaya lilin yang berkerlap-kerlip, terburu-buru aku menutup pintu
“tangganya, mana tangganya?” seru Stephanie, kami berdiri di ujung lorong menghadap tembok kokoh, bunga-bunga pada wallpaper di dinding seakan-akan mengembang dan menguncup dalam cahaya lilin yang menari-nari. Aku menggedor-gedor tembok dengan kedua tangan “bagaimana cara kita keluar dari sini? bagaimana caranya?”. Stephanie sudah membuka pintu di seberang lorong, kau segera menyusul masuk.
“oh!” ruangan itu dipenuhi sosok-sosok menyeramkan, baru beberapa detik kemudian akau sadar ternyata yang kulihat cuma perabot yang ditutupi kain putih, kursi-kursi dan sofa-sofa yang terbungkus kain
“mungkin ini ruang duduk para hantu” aku tergagap-gagap, Stephanie tidak mendengarku, ia telah melewati pintu tebuka di dinding seberang, aku mengikutinya ke ruangan lain yang penuh peti besar, tumpukan peti itu hampir mencapai langit-langit. kami memasuki ruang lain dan ruang lain lagi, jantungku berdegup-degup, leherku serasa dicekik. aku mulai putus asa, sampai kapan kami harus berlari-lari mencari tangga?
Pintu lain lagi, ruang gelap dan kosong lagi, “hei Steph.. “ bisikku “rasanya kita cuma berputar-putar” kami sampai di sebuah lorong, akhirnya kami sampai di pintu yang belum pernah kami lihat, pada daun pintunya terpaku sepatu kuda. barang kali itu pertanda bahwa keberuntungan kami akan berubah, semoga saja!
Tanganku gemetaran ketika aku meraih pegangan pintu, kubuka pintu, sebuah tangga! “yes” seruku “akhirnya” Stephanie menimpali dengan napas tesengal-sengal, “ini pasti tangga para pelayan” aku menduga-duga “mungkin kita terjebak di tempat tinggal pelayan tadi” tangga itu tampak curam dan terselubung kegelapan, aku turun selangkah demi selangkah sambil berpegangan pada dinding.
Sebelah tangan Sthepanie menggenggam pundakku, setiap kali aku melangkah ia juga ikut. Satu langkah lagi, dan satu langkah lagi, bunyi sepatu kets kami bergema di ruangan tangga. kami sudah menuruni sekitar sepuluh anak tangga ketika aku mendengar suara langkah lain. suara langkah menaiki tangga dari bawah.








continues...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Character Comunity © 2008. Thanks to Blogger Templates | Design By: SkinCorner